Tittle
: A Destiny
Author
: F. Ulfa a.ka Upeeh
Genre
: Religious , Romance , Adult
Lenght
: -
Type
: JD (Just Dreaming)
Main
Cast :
§
Safana NurJannah Cromwell
§
Justin Drew Bieber as himself
§
Zayn Malik as himself
Langit kota New York begitu beersahabat siang ini.
Awan
kumulus menghiasi angkasa,langit biru membentang luas sehingga menghasilkan
keindahan tersendiri bagi yang melihat. Sebuah hal yang hanyalah Tuhan yang
dapat melakukannya. Oh tentu saja,Tuhan yang memegang kendali atas semua hal.
Langit
yang cerah itu membuat masyarakat banyak menghabiskan waktu diluar rumah.
Mereka pergi ke pusat perbelanjaan,taman kota atau ke bioskop hanya untuk
menonton sebuah karya dari tangan manusia yang kenyataaannya kalah telak
dibandingkan karya dari Tuhan. Tapi ada pula yang memilih untuk diam
dirumah,menghabiskan akhir pekan bersama keluarga atau hanya untuk
beristirahat.
Tapi
gadis itu—gadis berhijab sekaligus cadar—memilih untuk menghabiskan waktunya
disalahsatu kafe ternama bersama kedua temannya. Gadis itu bernama Safana,atau
lebih tepatnya Safana NurJannah Cromwell. Gadis bermata coklat itu tetap fokus
pada kedua temannya,mereka sedang berusaha mengerjakan proyek baru mereka.
Yaitu untuk membangun sebuah panti asuhan yang didalamnya bisa menampung
anak-anak dari kepercayaan yang berbeda,tapi dapat menjadi sebuah satu kesatuan
yang kuat.
“Seharusnya kita membangun gedung atau mencari gedung,Safa ? Aku benar-benar
bingung untuk itu.” Salahsatu temannya mengeluh,bernama Alice yang notabenenya
berbeda kepercayaannya dengan gadis itu. Alice adalah pemeluk katolik yang
taat,selalu berusaha untuk hadir setiap hari minggu digereja. Selalu berusaha
untuk menjalankan apa yang Tuhan-nya perintahkan.
Safana
tersenyum,wajahnya yang ditutupi selembar kain itu tidak menjadi penghalang
untuk seseorang mengetahui dirinya tersenyum. “Itu urusan mudah,Alice. Kita
perlu mencari gedung dipinggiran kota agar tempatnya menjadi tempat yang
menyenangkan. Ah—iya,Belle,kau punya kenalan untuk hal-hal seperti itu,bukan ?”
Belle—atau lebih tepatnya Bella—mengangguk,tersenyum pada gadis keturunan Turki
sekaligus Inggris itu. Mereka bertiga adalah gadis-gadis yang memiliki
kepercayaan yang berbeda,namun bisa saling bersikap toleransi. “Itu urusan
mudah,Safa.” Ia mengikuti gaya bicara temannya itu. “Aku bisa menghubungi
Justin.”
Kening
Safana berkerut,ia tidak mengenal siapa Justin yang Belle sebut. Tapi..itu
bukanlah masalah untuknya. Ia mempercayakan hal itu pada Belle,ia tahu
sahabatnya itu mempunyai akses yang mudah dalam hal mencari gedung ataupun
tempat-tempat yang aman.
Mereka
bertiga tersenyum,merasa pembicaraan mereka benar-benar menghasilkan sebuah
keputusan pada hari ini. “Well,aku harus segera pulang kalau begitu.” Safana
bangkit,mengambil tas-nya dan memandang kearah kedua sahabatnya. “Aku belum
shalat ashar. Tidak apa-apa,bukan ?”
“Oh,tentu saja.” Alice dan Belle menyahut,mereka tahu betul Safana adalah
seorang Muslimah yang taat. Salahsatu buktinya adalah Safana tetap menggunakan
pakaian yang tertutup sekaligus jauh dari kata ketat sementara gadis-gadis
Amerika pada umumnya memilih untuk memakai top atau pakaian serba ketat untuk
memamerkan lekuk tubuhnya. Mereka tahu Safana adalah gadis yang baik.
Safana
kembali tersenyum,matanya memancarkan sebuah cahaya ketika ia tersenyum. Sebuah
cahaya yang Alice dan Belle tidak tahu datangnya darimana,tapi mereka menyukai
hal itu. “Assalamualaikum..”
“Wa’alaikumsalam.” Walaupun berbeda kepercayaan,mereka berdua tetap menjawab
ucapan salam dari Safana. Mereka sering datang kerumah Safana dan sering
mendengar jika ada orang yang mengucapkan salam seperti itu akan dijawab denganWa’alaikumsalam.
****
Benar-benar aneh,gumam seorang pria yang masih
menggunakan pakaian kerjanya untuk datang ke sebuah kafe yang adiknya sebutkan.
Ya,pria itu bermaksud untuk menjemput adiknya yang bernama Belle. Ia sempat
melihat bahwa gadis yang ia pikir aneh itu berbicara pada adiknya,bahkan
adiknya dan temannya itu tersenyum ke arah gadis itu. Ketika ia melewati gadis
itu—yang kebetulan berjalan dengan arah yang berlawanan—ia benar-benar merasa asing,merasa
aneh namun juga merasa bahagia. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada
dirinya.
“Justin!” suara gadis menyahut,pria itu tahu bahwa yang memanggilnya adalah
adiknya dari meja yang tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang. ia tersenyum
ke arah adik satu-satunya itu,lantas berjalan untuk menghampirinya.
Belle
berdiri untuk menghampiri kakak-nya,pria yang bernama Justin Bieber. Seorang
pria yang berusia 24 tahun yang sekarang menjabat sebagai pemilik disebuah
supermarket terkenal di New York. B! Supermarket. “Hai,Justin.”
“Hai,little princess. Aku tidak terlambat menjemputmu,bukan ?” Justin memeluk
adiknya sebentar,mencium puncak kepalanya dan langsung menghampiri Alice dan
bersalaman. “Hai,Alice.” Sapanya ramah,Justin adalah tipikal pria yang ramah
sehingga memudahkannya untuk bergaul.
“Hai,Justin.” Alice menyahut pelan.
Belle
duduk kembali ditempatnya,disusul Justin yang duduk ditempat yang sebelumnya
ditempati oleh Safana. “Well,ku pikir kau sedikit terlambat. Tadinya aku ingin
mengenalkanmu pada Safana.” Belle memandang kakak laki-lakinya itu lamat,serius
dan penuh misteri.
Justin
terdiam sebentar,pemikirannya tertuju pada gadis yang ia pikir aneh itu. Apa
mungkin ia adalah gadis yang bernama Safana ? Safana.. nama yang cantik. Tapi
ia tidak tahu bagaimana rupa dari gadis bernama Safana itu. Ia hanya tahu
pakaian yang gadis itu kenalkan.
Justin
memandang adiknya itu. “Apakah yang kau maksud adalah gadis yang memakai
pakaian serba hitam yang baru saja keluar,Belle ?”
Alice
dan Belle berpandangan. “Ya,kau mengenalnya ?”
Justin
menggeleng. “Tidak,aku tidak mengenalnya. Hanya saja aku sempat melihatnya
tadi,kelihatan aneh sekali.”
“JUSTIIIIN” Alice berteriak murka. Aneh ? Oh—berani sekali Justin menyebut
Safana aneh. Tidak,Safana sama sekali tidak aneh bagi Alice dan Belle. Safana
adalah sosok menyenangkan sekaligus cerdas dimata mereka berdua. “What ? Aku
tidak salah,bukan?”
Belle
memasang wajah murkanya. Ia tidak suka ketika seseorang menyebut sahabatnya
dengan sebutan aneh,ia menyayangi Safana. Mereka bertiga saling menyayangi
walaupun memiliki kepercayaan yang berbeda. Mereka adalah sahabat sejak di
Senior High School dulu,kemungkinan besar sudah tujuh tahun. Hanya saja..Safana
sempat menghilang dan baru kembali satu tahun belakangan. Ya,Safana baru saja
selesai dari kuliahnya.
“Tentu
kau salah. Safana bukanlah gadis aneh. Kau hanya belum mengenalnya,brother.”
Belle menyahut,tiba-tiba saja ia merasa tidak suka pada kakaknya. “Oh baiklah.
Terserah apa katamu,sekarang ayo kita pulang. Alice ? Berminat pulang bersama
kami ? Ah—iya! Morina ada dimobil,ia bilang ingin bertemu denganmu,Al”
“Oh tentu
saja. Dimana gadis kecil itu ?” Alice memekik girang,tentu saja senang karena
ia benar-benar menyukai anak kecil,terlebih Morina yang baru berusia tiga
tahun. Anak perempuan itu benar-benar menggemaskan,tidak salah Justin yang
tampan menjadi ayahnya.
Saffana
POV
Hai,aku Saffana—well,kalian bisa memanggilku Saffa seperti yang dilakukan
teman-temanku yang lain. Sekarang aku berusia 21 tahun dan baru saja
menyelesaikan studi tersembunyiku diHarvard dalam jurusan manajemen.
Tersembunyi ? mungkin kalian bingung akan hal itu,tapi aku punya alasan
tersendiri kenapa aku melakukan hal itu. Mungkin akan ku jelaskan lain
waktu,sekarang aku ingin memperkenalkan diriku pada kalian.
Aku seorang muslim—golongan yang sulit ditemukan dinegara bebas seperti Amerika
yang sekarang menjadi tempat tinggalku. Ibuku adalah warga asli Turki sedangkan
ayahku adalah warga asli Inggris sehingga aku memiliki aksen british yang cukup
kental jika aku berbicara. Soal aku mempunyai seorang pacar,aku belum memiliki
seorang pria tentu saja. Jika kalian seorang muslim,pasti tahu alasannya. Tidak
ada kata berpacaran dalam Islam,yang ada adalah Ta’aruf.
Aku tidak perduli jika ada yang mengejekku karena aku belum pernah
berpacaran,aku hanya ingin menjaga diriku sesuai dengan syariat Islam. Jika
kalian berpikir aku adalah seorang muslim yang taat,InsyaAllah. Aku belum bisa
dikatakan sebagai seorang muslim yang taat,ku pikir,masih banyak yang melenceng
atas kelakuanku. Kadang,aku tidak sengaja bertatapan dengan pria yang jelas
bukan muhrimku—padahal sudah jelas itu termasuk zinah.
Aku tidak akan bicara banyak soal diriku karena aku bingung harus menjelaskan
darimana,terlalu banyak yang harus dibahas jika aku menceritakan bagaimana
diriku sebenarnya. Yang pasti,aku adalah seorang gadis yang tengah mencari
pemecahan masalah atas proyek baruku bersama kedua temanku—Belle dan Alice.
Belle Fahrain Bieber,adalah salah satu sahabat terbaikku walau kami berbeda
keyakinan. Dia pemeluk kristiani,namun mencoba menghargai atas perbedaan yang
kami miliki. Begitu pula dengan Alice Philips,dia adalah pemeluk katolik.
Well,aku tidak begitu mengerti dan tidak begitu mengetahui tentang kepercayaan
yang mereka anut. Aku dan kedua temanku hanya berusaha untuk saling menghargai
perbedaan yang ada diantara kami karena kami bertiga merasa nyaman atas
pertemanan kami selama hampir tujuh tahun itu. Tadi
siang hingga pukul setengah empat aku berada disalahsatu kafe bersama kedua
temanku itu—membicarakan tentang pendirian panti asuhan. Masalah-masalah pokok
telah dibicarakan beberapa minggu kemarin dan tinggal menunggu dana yang
cair,hanya tempat yang belum kami tentukan. Sebenarnya sudah beberapa tempat
kami fokuskan,hanya saja terlalu bingung untuk memilihnya. Dan salahsatu jalan
keluarnya adalah Belle yang menghubungi pria yang bernama Justin yang ia
sebutkan tadi dikafe.
Ini sudah pukul sembilan malam dan aku belum bisa menutup kedua kelopak
mataku,rasanya begitu sulit. Padahal sejak tadi aku sudah membaca beberapa
salawat serta hafalan suratku,tapi mata ini tidak bisa diajak kompromi. Dan aku
sendiri bingung harus melakukan apa,dan pada akhirnya aku memutuskan untuk
mengambil ponselku dan mengirim pesan teks pada Belle dan Alice. Mereka pasti
belum tidur.
Astagfirullah,aku hampir terlonjak karena tiba-tiba saja ponselku berdering.
Ternyata panggilan dari Belle,dia benar-benar mengejutkanku.
“Assalamuaikum,Belle. Ada apa ?”
Ku dengar ada suara anak kecil disana yang merengek. Tapi siapa ? Aku tidak
tahu Belle memiliki adik lagi. “Hai,Saffa.
Ah maaf,aku pasti mengganggu waktu tidurmu.Tapi ini penting,soal tempat untuk
proyek kita itu.”
Ah,semoga sahabatku itu memiliki kabar baik. Semoga saja. “Apa itu,Belle ? Aku
harap kabar baik.”
“Aku sudah berbicara
pada Justin bersama Alice tadi,dan kakak-ku itu memiliki banyak rekan yang
memiliki tempat yang lumayan. Justin bilang besok jika kau bisa kau datang
kerumahku,kebetulan kakak-ku itu menginap disini bersama anaknya.”
Alhamdulillah,kabar
baik yang aku dapatkan. Aku jadi teringat pada anak-anak yang sering ku jumpai
dipinggir jalan sendirian. Ya,di Amerika memang ada santunan bagi masyarakat
yang kurang mampu. Tapi apakah anak-anak yang aku lihat dipinggiran jalan
dikawasan kumuh itu termasuk ? Maka dari itu aku memiliki ide untuk menampung
mereka dalam satu tempat,tidak perduli mereka memiliki kepercayaan yang
berbeda. Lagipula,kepercayaan bukanlah penghalang untuk bergaul.
“Tentu aku bisa,mungkin aku bisa datang ketempatmu pukul dua siang setelah
shalat dzuhur. Btw,apakah Alice sudah mengetahui hal ini ?”
Aku kembali mendengar suara anak kecil merengek,pasti anak dari kakak-nya yang
bernama Justin itu. Tapi sejujurnya,selama aku mengenal Belle selama tujuh
tahun aku belum pernah bertemu dengan kakak-nya walau aku pernah ke rumahnya
beberapa kali. Tapi Belle pernah berkata padaku bahwa ia memang memiliki
seorang kakak. “Baik.
Dia sudah mengetahui hal ini,dia juga berencana akan kemari pukul dua siang.
Oke Saffa,mungkin ini sudah cukup. Aku tidak ingin menganggu waktu tidurmu.
Selamat malam.”
“Selamat malam.”
Ini sebuah keberuntungan untukku. Aku benar-benar bersyukur Allah memudahkan
jalan yang aku ambil bersama kedua temanku itu,semuanya terasa begitu mudah
ketika aku berusaha begitu keras. Setelah memasukkan beberapa proposal ke
beberapa perusahaan serta beberapa tempat untuk mengajukan bantuan,akhirnya
prosesnya hampir selesai. Sudah beberapa perusahaan menyetujui untuk memberikan
dana bantuan untuk pendirian panti asuhan itu. Orang tuaku juga turut
andil,mereka menyuntikkan dana untuk pendirian panti asuhan yang aku maksudkan.
Keluarga Alice dan Belle juga begitu,aku benar-benar berterima kasih pada
semuanya. Terlebih pada Allah yang memudahkan semuanya.
****
“Ummi,aku pergi kerumah Belle. Tidak apa-kan ummi sendiri ?” aku bertanya
pada Ummi yang tengah membaca berita dikoran,ia terlihat begitu cantik dengan
hijabnya—tanpa cadar. Aku duduk disebelahnya,menunggu jawaban yang ia ucapkan.
Ku liaht ia tersenyum,mengangguk lemah. “Tidak apa,Saffa. Ummi tahu kau pasti
akan membicarakan soal panti asuhan itu bersama Belle dan Alice,tapi
berhati-hatilah. Semoga Allah memberikan kemudahan untuk kita semua.”
Aku tidak bisa menahan senyumku,Ummi adalah wanita yang benar-benar aku cintai.
Dia adalah kebahagiaanku,inspirasiku dan menjadi wanita yang selalu
mensupportku. Dialah ibuku,wanita yang mengorbankan nyawanya hanya untuk
melahirkanku kedunia yang penuh kefanaan ini. Aku memeluknya,mencium pipinya
sebelum aku mencium tangannya untuk pamit. “Kalau begitu Saffa
pergi,Assamualaikum..”
“Wa’alaikumsalam..”
Tak lupa membaca bismillah,aku keluar dari rumah dan berjalan untuk keluar dari
kompleks perumahanku untuk dapat mencari taksi. Kebetulan Abi sedang tidak ada
dirumah sehingga mobil tidak ada,biasanya aku meminta adikku –Ahmad—untuk
mengantarkanku. Tapi tidak apa,berjalan seperti ini bukanlah sebuah masalah
untukku. Aku selalu mencoba mensyukuri apa yang aku dapat,mencoba menerima
apapun yang terjadi dalam hidupku. Jika itu adalah hal positif,aku akan
mempertahankannya dan mencoba menjadi lebih baik lagi. Tapi jika itu adalah hak
negatif,aku berusaha untuk memperbaiki dan belajar dari hal tersebut.
Hanya butuh lima belas menit untuk keluar dari kompleks perumahanku,aku
langsung bisa menemukan banyak taksi. Aku menyetop salahsatunya. Ku lihat supir
itu tersenyum padaku,dan aku berpikir bahwa supir itu adalah seorang muslim
juga jika dilihat dari nama yang tertera pada name tagnya. Ahmed—hampir sama
dengan nama adik laki-lakiku.
“Assalamualaikum,nona.”
Tebakkanku tepat! “Wa’alaikumsalam..” aku menjawab,dia benar seorang muslim.
Kemudian dia bertanya kemana tujuanku,dengan ramah aku menjelaskan kemana
tujuanku. Rumah Belle—disebuah perumahan mewah yang biasanya dihuni para artis
Hollywood.
Selama perjalanan,supir itu banyak mengajakku untuk mengobrol. Hanya obrolan
ringan,seperti konflik di Gaza yang belum berhenti hingga saat ini. Aku
benar-benar terenyuh ketika aku kembali teringat bahwa disana banyak muslim
yang tersiksa,mati karena dibunuh karena mempertahankan tanah airnya,mati
kelaparan dan sungguh aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika
negara-negara yang umumnya seperti Palestina—umumnya dihuni oleh warga
muslim—dijajah oleh negara-negara yang haus akan sumber daya alam.
Sampai,aku langsung memberikan beberapa lembar dollar untuk membayarnya. Tapi
supir taksi itu menolaknya,sungguh aneh karena biasanya para supir itu akan
senang hati menerima apalagi jika ongkosnya dilebihkan. Aku bahkan sudah cukup
memaksa—tindakan yang kurang aku sukai—tapi dia tetap menolaknya karena kami
sesama umat muslim. Tapi bagaimana jika penumpangnya selalu orang muslim ? Oh
kenapa ini benar-benar terasa sulit ku lakukan ? Aku tidak ingin mengurangi
jatah rezekinya hari ini.
“Tidak apa-apa,Saffa. Anggap ini sebagai nikmat Allah,aku bahkan tidak
keberatan untuk hal itu. Baiklah,Assalamu’alaikum..”
Ia memang mengetahui namaku,tadi ia sempat menanyakannya. “Tapi sungguh aku
merasa tidak enak,bagaimana dengan anak-anakmu nanti ? aku tidak ingin
mengurangi pendapatanmu,sir.”
Ia tersenyum padaku. “Sungguh,anggap ini rezekimu. Uangmu bisa kau simpan untuk
hal lainnya yang bermanfaat,aku tahu kau gadis yang baik. Jadi,tidak apa-apa.”
“Baiklah,aku benar-benar berterima kasih. Semoga Allah memberi balasan yang
setimpal atas apa yang kau berikan padaku,sir. Assalamualaikum..”
Aku meninggalkannya ketika ia menjawab salamku. Aku bersyukur pada Allah karena
aku masih bisa bertemu dengan seorang muslim dinegara bebas ini,benar-benar
luar biasa. Aku langsung masuk kedalam rumah Belle yang besar ini setelah
sedikit berbicara pada security yang berjaga digerbang. Ia mengizikanku masuk
setelah aku menjelaskan tujuanku kemari,benar-benar pengawasan yang ketat. Tapi
itu wajar,keluarga Belle memang keluarga yang terpandang.
“Hai,Saffa. Ya Tuhan,kau benar-benar cantik dengan pakaian birumu itu. Hanya
saja kau memakai cadarmu.” Tiba-tiba saja Belle mucul dari balik pintu yang
besar itu,mencerminkan bahwa rumah ini benar-benar megah. Ia tersenyum padaku,memelukku
seperti biasa kami bertemu dan dia mengajakku masuk tanpa membiarkanku membalas
ucapannya tadi. Jika ia bilang aku cantik,benar-benar sebuah berkah. Jarang
sekali ada yang memujiku karena aku memang tidak begitu memiliki banyak teman.
Hanya beberapa karena mereka banyak yang menganggap aneh padaku—akibat cadar
yang aku pakai. Padahal aku hanya ingin melakukan apa yang memang seharusnya
aku lakukan.
“Saffa ! Ya Tuhan,aku terlihat manis hari ini. Seperti biasanya.” Alice mucul
bersama seorang anak perempuan lucu yang memandang ke arahku. Aku tersenyum
padanya dan memeluknya sebentar karena anak kecil ini merengek,mungkin anak
kecil yang semalam ku dengar merengek itu. “Terima kasih,Alice,Terima
kasih,Belle.”
“Ah tentu saja.” Mereka kompak menjawab. Belle menarik tanganku,membawaku
kesebuah ruangan yang kebetulan tidak jauh dari ruang tamunya. Aku melihat
seorang pria yang sedang duduk disofa dan sedang berkutat dengan
ponselnya,sesekali bergumam. Apa mungkin dia adalah pria bernama Justin itu ?
“Justin. Oh—sial,bisakah kau menyimpan ponselmu dulu ? Kau harus berkenalan
dengan Saffana.” Belle mengambil ponsel yang pria itu pegang,merebutnya dengan
paksa sehingga pria itu mengerucutkan bibirnya. Oh benar-benar manis. Ya
Allah,Saffa. Apa yang kau pikirkan barusan ? Jangan! Dia bukan muhrimmu!
Seharusnya kau menjaga pandanganmu.
Belle menarik tangan Justin sehingga pria itu berada dihadapanku sekarang.
sontak aku menunduk karena ibuku selalu memperingatkan bahwa aku harus menjaga
pandanganku,jangan sampai menimbulkan hal-hal diluar keinginanku. “Selamat
siang,Saffana. Aku Justin Bieber,kau bisa memanggilku Justin.” ia mengulurkan
tangannya padaku. Aku meliriknya sebentar,lantas menempelkan kedua telapak tanganku
dan menyimpannya didepan dadaku. Aku dan dia tidak boleh bersentuhan,tentu
saja.
“Saffana. Kau bisa memanggilku Saffa.”
Ku dengar ia tertawa pelan. “Beautiful
name. Ayo duduk,kita bisa langsung membahas mengenai tempat
itu,kebetulan tadi aku baru menghubungi temanku dan ada beberapa tempat yang
bisa kalian pilih.”
Aku duduk disamping Alice yang masih menggendong anak kecil itu,ku pikir ia
adalah anak Justin. “Baiklah,jadi kau sudah mendapatkan tempatnya dimana,bro ?”
Belle bertanya pada kakaknya itu. Justin terlihat berpikir sebentar,lantas
melirik kearahku.
“Max baru saja memberitahu ada sebuah tempat—lumayan luas dan terdapat mushola
disana. Aku lupa luasnya berapa,tapi cukup besar untuk menampung anak-anak. Dan
tempatnya cukup strategis walau pinggiran kota,kita hanya perlu menempuh waktu
setengah jam kesana.”
Cukup bagus jika ada sebuah mushola disana,jadi aku tidak perlu susah untuk
menjadikan sebuah ruangan untuk menjadi mushola. Tapi mengenai luasnya aku
belum mendapat keterangan pastinya sehingga aku belum yakin akan hal itu. Tapi
aku harap tempatnya cukup luas karena aku juga berharap ruangan-ruangan dapat
difungsikan sebagaimana aku dan kedua temanku inginkan.
Aku melirik Alice yang juga memperhatikan Justin. entah darimana pemikiranku
berasal,ku pikir jika dilihat dari tatapan Alice pada Justin terlihat sekali
bahwa temanku itu menyukainya. Oh,Saffa,hentikan omong kosong ini !
“Tapi Max menawarkan tempat lain,dia mendapat tempat dipusat kota. Dekat
supermarket yang aku pegang,luasnya lumayan,dua kali lebih besar dari rumah
ini,dekat gereja dan dekat taman bermain.” Justin kembali melirikku. Tapi aku
selalu berusaha untuk tidak memandangnya,aku harus selalu menjaga pandanganku.
Berusaha untuk tetap fokus agar aku bisa berpikir dengan baik sekarang. Jujur
saja,aku akan gugup jika berada satu ruangan dengan pria yang tidak aku kenal
dengan baik. Dan buktinya,aku sedikit berkeringat pada punggungku walau AC
sudah berjalan dengan baik. Astagfirullahaladzim.
“Apa kau mengetahui tempat itu dengan baik ? Maksudku begini,kau tahu seluk
beluknya ?” dengan keberanian yang aku punya aku bertanya,ini penting untuk ku
ketahui. Justin kembali memandangku,tapi aku kembali menghindar. Aku hanya
perlu mendengarkannya tanpa perlu memandangnya. “Lumayan,aku pernah masuk
kesana. Tadinya aku akan membeli tempat itu untuk perluasan supermarket tapi
tidak jadi. Harga yang ditawarkan cukup murah.”
“Apa ada tempat lain,Justin ?” Alice bersuara dengan suara imutnya,dia
benar-benar lucu. Memiliki wajah layaknya barbie dan juga tidak membosankan.
Hanya saja ia cukup dingin pada pria—itu yang aku ketahui dari Belle beberapa
minggu yang lalu setelah sekian lama aku meninggalkan kedua sahabatku untuk
studiku itu.
Justin berdeham. “Ah—ya,satu lagi. Tempatnya tidak jauh dari sini,aku lupa
namanya,Max menyebutkannya tidak jelas. Kalian tahu gedung teater dekat
McDonald,bukan ? Dibelakang gedung itu—ada jalan lagi—masuk kesebuah komplek
perumahan dan disana ada tempat juga. Aku belum tahu bagaimana keadaannya,Max
sedang mencari tahu. Secepatnya ia akan menghubungiku.”
Kami terdiam sebentar,berkutat dengan pemikiran masing-masing. Aku penasaran
pada tempat yang Justin sebutkan pertama,ada sebuah mushola disana. Tapi aku
tidak boleh bermain egois,ada dua temanku juga yang memutuskan tempat.
“Dadda..” tiba-tiba saja suara anak kecil yang Alice gendong bersuara,sangat
lucu sekali. Aku tidak bisa menahan senyumku ketika mendengarnya
berbicara,apalagi pada Justin. Aku sempat melirik Justin,ia tersenyum pada anak
kecil itu dan langsung mengambilnya dari gendongan Alice. “Ah,baby girl. Apa yang
kau inginkan,hm ?”
Tiba-tiba saja ia menunjukku dengan jari telunjuknya yang mungik sambil
tersenyum lebar. “I want her,dadda. Mommy.”
“What ?!” aku mendengar Alice
memekik,terdengar sekali terkejut,begitu pula aku. Anak kecil ini memanggilku
Mommy ? Ya Allah,ini gila. Dia memang menggemaskan,tapi dia bahkan belum
mengenalku. “Morina ? What did you said,dear ? She’s not your mommy.”
Justin mencium pipi anak kecil itu,namanya Morina,nama yang
cantik. Tiba-tiba
saja ia merengek,wajahnya memerah ketika ia sedikit terisak. “I want her,dadda. She’s my mommy.”
Hatiku sedikit terenyuh. Apa mungkin gadis kecil itu kehilangan ibunya ? Tapi
apa mungkin ? Justin sangat terlalu muda jika dia memang memiliki seorang anak.
Tapi itu bisa saja. Bisa saja ia menikah muda dan memiliki anak lucu semacam
Morina. Tapi kemana ibunya ? Apa mungkin.. justin seorang duda ?
“Kemarilah,gadis manis.” Aku mengenyahkan pemikiran gilaku itu,menjulurkan
tanganku untuk menggendong Morina. Dia terdiam sebentar,memandangku,lalu
tersenyum dan meronta untuk turun dari gendongan Justin. ia menghampiriku dan
aku menggendongnya,mendudukannya dipahaku. Ia tersenyum manis padaku. “Mommy..”
“Morina..” Belle bersuara. Aku meliriknya sebentar lalu tersenyum,tidak masalah
jika Morina menganggapku ibunya. Tapi Justin ? Dia yang akan mempermasalahkan
ini. “Tidak apa,Belle.”
Aku melirik Alice yang berada disampingku,merasa tidak enak karena ku pikir dia
sedikit terkejut. Ku pikir dia benar-benar menyukai Justin sehingga bisa memekik
sebegitu kerasnya seperti tadi. “Maafkan putriku,Saffa. Tidak biasanya dia
seperti itu pada seorang wanita.”
Justin memandangku dengan tatapan sedihnya. Mengapa ? Apa mungkin Morina memang
kehilangan ibunya ? Kemana kah ibunya ?
Aku
mencoba bersabar ketika Morina terus menerus ingin bersamaku dan tidak ingin
bersama Alice ataupun Justin sendiri. Tadi Belle baru saja memberikannya
sebotol susu dan hingga saat ini ia terus bersamaku walau kami sudah mengakhiri
percakapan pokok. Sekarang kami hanya sedikit berbincang-bincang,membahas
mengenai supermarket milik Justin yang berada tidak jauh dari sini. Kadang
obrolan melambung jauh ke suatu hal yang sungguh membuatku mual—mereka
membicarakan seks.
“Ya Tuhan—Saffa. Maafkan aku,aku benar-benar lupa kau disini.” Alice berbicara
dengan pelan,mungkin baru tersadar bahwa mereka membicarakan masalah seks
dihadapanku. Sebenarnya tidak masalah,hanya saja aku tidak begitu suka
membahasnya. Ku pikir masalah seks itu adalah sebuah privasi,oke,tidak apa jika
memang untuk berkonsultasi. “Tidak apa-apa,Alice. Tapi jujur saja,kalian
berhasil hampir membuatku muntah.” Aku berguyon dan mereka tertawa.
Aku memandang Morina yang masih berada digendonganku,ia begitu betah memainkan
pakaianku yang berukuran lebih besar dari tubuhku. Ia menariknya
pelan,menggulungnya sehingga menjadi lipatan kecil namun tidak membuat
pakaianku kusut. “Morina..Kemarilah,beautiful.” Belle bangkit dari
duduknya,menghampiriku dan dia bersimpuh dihadapanku sehingga ia bisa menatap
Morina secara langsung—tidak perlu menunduk lagi.
“Tidak mau.” Gadis kecil ini merengut. “I wanna with mommy,Belle.” Ia kembali
membuka suaranya,kali ini ia menyembunyikan wajahnya didadaku,memelukku dengan
tangan mungilnya berusaha untuk menyembunyikan diri dari Belle. “Saffa—oh
maafkan kelakuan anak ini.” Justin angkat bicara. Sebentar aku meliriknya,ia
terlihat sedih ketika memandang Morina. Aku benar-benar penasaran apa yang
sebenarnya terjadi pada Justin dan Morina. Dan..mengapa bisa Morina
menganggapku sebagai ibunya ?
“Tidak apa,Justin. Jika Morina memang nyaman bersamaku aku senang.” Aku mencoba
menatapnya,memberanikan diri dan aku melihatnya tersenyum. Aku pun tersenyum
dari balik cadar biru yang menutupi sebagian dari wajahku itu,ku pikir dia tahu
aku tersenyum. Orang-orang bisa tahu jika aku tersenyum,mereka bilang itu
sangat terlihat dari mataku.
“Terima kasih,Saffa. Btw,kau tinggal dimana ?” Justin kembali menatapku,hanya
saja aku langsung menunduk dan mengalihkan pandanganku kepada Morina yang
matanya nyaris terpejam. Setelahnya,aku mendengar suara dehaman dari Belle dan
Alice. “Jangan mencari kesempatan Justin,Saffa adalah gadis yang baik dan kau
..? Oh benar-benar gila.” Belle memutar matanya sarkastik,sementara Alice
terlihat muram sekarang. Oh ini benar-benar,Alice menyukai Justin. Aku tidak
boleh membiarkan sahabatku itu terlihat sedih.
Aku memandang Justin sebentar. “Itu rahasia.” Aku menjawab sok misterius yang
dibalas Justin dengan dengusan keras,ia terlihat frustasi. Hey,apa yang baru
saja aku katakan ? Justin terlihat frustasi ? Apa yang terjadi ?
“Ya Tuhan—Saffa. Aku serius,aku ingin membicarakan suatu hal yang penting
denganmu.”
Aku mengernyit. “Kenapa tidak sekarang saja ? Ku pikir lebih cepat lebih baik.”
Aku melirik Alice yang sesaat sibuk dengan ponselnya,ia terlihat semakin muram.
Kemudian aku melihatnya berdiri,mengambil tasnya dan tersenyum pada kami semua.
“Ku pikir aku harus pulang. Jhonny sudah menjemputku didepan. Oke,kalau begitu
aku duluan.”
Alice memelukku sebentar,lantas kepada Belle dan terakhir Justin. Entahlah,aku
begitu terkejut begitu melihat Alice melayangkan sebuah ciuman singkat dipipi
Justin. Ia terlihat biasa saja ekspresinya,sementara Justin menegang ditempat.
Aku baru ingat,mencium ketika pergi adalah kebiasaan orang-orang
Amerika—termasuk Eropa—dan ku pikir seharusnya Justin terbiasa akan hal itu.
Aku memejamkan kelopak mataku,berusaha untuk tidak mengingat potongan adegan
yang baru saja aku lihat. Itu zinah,hanya saja mereka tidak mengetahuinya.
Sahabatku yang satu itu langsung pergi meninggalkan kami berempat setelah
sebelumnya mengucapkan selamat tinggal. Kami bertiga langsung terdiam,bingung
untuk membuka pembicaraan lagi. Tapi kemudian,aku ingat apa yang tadi Justin
katakan soal urusan penting itu. “Ermm—Justin”
“Ya,Saffa ?”
Aku melirik Morina yang sekarang tertidur sambil memegang botol susunya,dia
benar-benar menggemaskan. Ia tertidur dengan lelap dalam gendonganku,aku jadi
seperti seorang ibu sungguhan yang sedang menidurkan anaknya. Suatu saat nanti
aku pasti akan melakukannya,menidurkan anakku sambil mengajarkannya membaca
salawat walau ia masih kecil.
“Kalau boleh tahu—begini maksudku,tadi kau bilang kau memiliki urusan penting
denganku. Urusan dalam hal apa?”
Ia terdiam,membuang pandangan dan menghembuskan nafas frustasi. Lama dia
terdiam sampai akhirnya memandang Belle. Entah apa yang Justin maksudkan,Belle
langsung bangkit dan tersenyum padaku. “Aku tinggal ya,Saffa. Kau bersama—.”
“Belle,mana mungkin ?” aku memotong ucapannya. Tidak,aku tidak boleh berada
dalam satu ruangan hanya dengan bersama seorang pria. Disini memang ada Morina,tapi
ia tertidur dan aku ingat bahwa kami—maksudku aku dan Justin bukanlah muhrim.
“Tidak apa,Saffa. Ia tidak akan melakukan apapun padamu.”
Belle tersenyum padaku,seakan-akan meyakinkan diriku bahwa ucapannya dapat
dipercaya. Aku percaya pada Justin,hanya saja dosa tetaplah dosa. Dosa yang
kecil namun jika dibiarkan akan semakin banyak,semakin menumpuk sehingga
berubah menjadi dosa besar.
“Slow down,Saffa. Aku hanya ingin meminta bantuanmu.” Justin angkat bicara
setelah Belle naik ke lantai atas,meninggalkan aku dan Justin.
Aku tidak memandangnya. “Ya,Justin?”
Ku dengar ia menghembuskan nafasnya,mencoba menenangkan diri mungkin saja. “Aku
sudah menginginkan ini sejak lama—sejak usiaku dua puluh satu tahun ketika
mengadopsi Morina. Aku ingin menjadi seorang muslim.”
Aku memandangnya takjub.
Ia ingin menjadi seorang muslim ? Yang benar ? Apa ia baru saja mengatakan
bualan atau kebenaran ? Dan.. Morina ? Jadi Justin adalah orang tua angkat ?
Apa itu artinya ia belum menikah ? Ya Tuhan,Saffa. Lupakan soal Morina,fokuslah
pada keinginan Justin yang ingin menajdi seorang muslim.
Dengan penuh keberanian aku memandangnya. “Kau yakin ? Maksudku—kau adalah
seorang yang terlahir dari keluarga kristiani taat dan bagaimana pendapat
mereka tentang hal ini ? Apa mereka menyetujuinya?”
“Aku sudah membicarakan ini jauh-jauh hari pada mereka,dan mereka mengerti. Ini
hidupku,aku yang berhak mengatur semuanya. Dan..aku benar-benar menginginkan
hal ini.”
Morina menggeliat dalam pelukanku,ia melepaskan botol susu-nya dan segera aku
menyimpannya diatas meja. “Kenapa tidak sebelumnya kau melakukan hal itu ?”
“Sulit menemukan seorang muslim dinegara ini,Saffa. Sebenarnya aku bisa saja
pergi ke negara Muslim seperti Arab Saudi atau Mesir dan mengislamkan
diri,hanya saja pekerjaanku benar-benar banyak dan aku tidak bisa meninggalkan
Morina. Gadis kecil itu tidak bisa jauh dariku.”
Bukankah Morina anak angkat Justin ?
“Morina adalah anak temanku yang berada diGaza,kau tentu tahu bagaimana keadaan
dinegara itu—Palestina—. Orang tua Morina tertembak dan secara kebetulan aku
sedang disana,ingin memberikan bantuan pada temanku dan rakyat disana. Namun
Tuhan merencanakan hal lain,temanku tertembak bersama istrinya. Dan akhirnya
aku mengangkat Morina menjadi anakku.”
Subhanallah..
Jadi Justin turun langsung untuk membagikan bantuan untuk para korban di Gaza ?
Dan.. orang tua Morina tertembak. Apa mungkin orang tua Morina seorang muslim
sehingga gadis kecil ini menganggapku ibunya ? Apa itu mungkin saja ?
“Saffa. Aku tidak tahu alasan jelas diriku untuk menjadi seorang muslim itu
apa,yang jelas aku merasa diriku benar-benar kosong—tetapi aku tidak tahu apa
yang hilang. Dan setiap aku menonton televisi yang menayangkan acara-acara
bertemakan islami aku merasa ruang kosong itu terisi. Aku yakin untuk menjadi
seorang muslim,aku ingin beriman pada Allah..”
****
Aku tidak menyangka ini benar-benar terjadi.
Justin benar-benar sungguhan,selama seminggu ini ia banyak belajar mengenai
agama Islam bersama Ahmad—adikku—dan juga Abi. Seminggu yang lalu ia
mengutarakan keinginannya dan hari itu juga aku membicarakan hal ini pada Abi.
Justin meminta bantuanku,dan tentu saja aku akan dengan senang hati
membantunya. Bukankah kita harus membantu satu sama lain ?
Justin sudah mengenal Abi dan Ahmad,sehingga ia sudah mulai terbiasa bersama
mereka berdua ketika belajar walaupun tanpa hadirnya aku ditengah-tengah mereka
bertiga. Justin belajar dirumahku,dan ia juga sudah mengenal Ummi. Keluargaku
benar-benar menerimanya dengan baik. Abi bilang,ia adalah seorang pemuda yang
beruntung karena mendapatkan ilham dan yang tak ku duga adalah Justin sudah
banyak bisa doa-doa ketika shalat. Ternyata Justin sudah mempelajarinya. Ia
bilang,ia memiliki seorang teman yang bisa membaca tulisan Arab,hanya saja
bukan seorang muslim. Aku tidak mengerti tentang hidupnya yang terlalu rumit
itu,ia begitu mengejutkan.
Dan soal Morina,ternyata tebakanku benar. Ibu dan ayahnya adalah seorang muslim
sehingga ia mudah sekali menganggap diriku adalah ibunya. Bahkan,ketika Justin
berada dirumahku Morina juga ikut sehingga ia bisa terus bersamaku. Ummi bahkan
menyukainya.
Aku tidak menyangka tempat yang Justin tunjukkan adalah tempat-tempat luar
biasa. Tentu kalian tahu bahwa Justin yang menunjukkan tempat-tempat untuk
pendirian panti asuhan itu,dan akhirnya kami memilih tempat dekat supermarket
milik Justin. Justin bilang,itu akan memudahkannya berkunjung dan bisa bermain
disana bersama anak-anak nantinya. dan soal harga,lumayan terjangkau walau
sebelumnya pemiliknya menawarkan harga diluar yang kami pikirkan.
“Saffa,kau tahu tidak ? Benar-benar mengejutkan ketika Justin ternyata seperti
itu.” Alice memandangku takjub,seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup.
“Seperti itu apa,Alice ?” Belle menyahut sambil meneguk cappucino-nya. Aku hanya
diam mendengarkan percakapan antara Alice dan Belle ini.
“Justin akan menjadi seorang muslim. Aku tidak menyangka,semoga itu yang
terbaik untuknya. “
“Amin..” aku menyahut,tersenyum pada mereka berdua. “Well,kapan kita akan
mencari barang-barang untuk disana,hm ?” aku bertanya,setelahnya aku meneguk
orange juice-ku.
“Lusa ku pikir,kita butuh seminggu untuk memastikan barang-barang itu
benar-benar dibutuhkan atau tidak. Ditempat itu ada beberapa ranjang dan
peralatan dapur,jadi kita harus mendatanya mulai dari sekarang.” alice
menatapku,tersenyum ketika ia selesai berbicara.
Seminggu lagi. Ya Tuhan,aku tidak bisa. Aku harus menyiapkan pendaftaran diriku
untuk masuk kuliah lagi untuk menempuh S2 yang seharusnya aku tempuh setahun kebelakang.
“Aku menyerahkan itu pada kalian berdua,tidak apa,kan ? Aku memiliki sedikit
urusan.”
Belle menatapku curiga. “Oh,Saffa. Jangan bilang kau mau melanjutkan kuliahmu
lagi ? Waktu itu—ketika kita lulus dan sedang berdiam diri dikafe ini kau
mengatakan hal yang sama ketika Alice mengajak berlibur ke Inggris. Apa yang
sebenarnya terjadi ?”
Ya Tuhan,ia bisa menebakku sekarang. Belle benar-benar peka sekarang,ia
mengerti apa yang aku sembunyikan dari mereka berdua. Aku memang seharusnya
mengatakan hal ini pada mereka,hanya saja aku tidak ingin membuat mereka
bersedih ketika aku harus pergi dan meninggalkan mereka. Kejadian beberapa
tahun lalu mengingatkanku betapa bodohnya aku harus menyembunyikan hal
ini.
“Maafkan aku soal itu,please. Aku memang berencana untuk kuliah lagi tahun
ini,di Oxford.”
“What the hell ? are you serious ?” Alice memangdangku lama,begitu intens
sehingga aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. “Of course ya. Aku akan
pergi ketika proyek kita selesai dilaksanakan. Dan maafkan aku,aku tidak bisa
menemani kalian seminggu ini. Aku harus pergi ke Oxford untuk mengecek
semuanya.”
Ku dengar mereka mengerang. Oh yang benar saja ? Apa aku baru saja menyakiti
hati mereka berdua ? meninggalkan panti asuhan itu ketika sudah berdiri ?
“Berapa lama kau akan meninggalkan kami ?” Belle angkat bicara setelah beberapa
saaat diam dalam keterkejutannya. “Dua tahun.”
Aku menjawab dengan pelan,sama sekali tidak bisa menatap mereka berdua karena
aku sendiri cukup berat meninggalkan mereka lagi. Dua tahun sebenarnya bukanlah
waktu yang lama,hanya saja aku tidak cukup memiliki tekad yang kuat untuk ke
Oxford. Tapi kenyataannya aku harus melakukannya,ini demi kebaikanku juga.
Menempuh S2 dan mendapatkan gelar bisa mempermudahku dalam mencari pekerjaan
walau sebenarnya Abi sudah menyiapkan sebuah kursi diperusahaannya. Tapi aku
bukanlah anak manja yang hanya bisa merengek meminta pekerjaan pada Abi,aku
ingin berjuang untuk diriku sendiri.
“Kau membuatku sedih,Saffa.” Alice menyentuh tanganku,meremasnya pelan. Ia
menatapku dengan sedih,lantas memelukku dan kemudian aku merasa bahwa Belle
ikut memelukku juga. “Kau akan meninggalkan kami lagi.”
Aku tidak bisa menahan senyumku,dan kemudian aku benar-benar tersadar bahwa aku
benar-benar menyayangi kedua sahabatku walau mereka berdua bukan seorang
muslim. “Ku pikir kalian bisa mengunjungi kapanpun kalian mau.”
Alice melepas pelukannya dan menatapku berbinar,ia tersenyum manis.”Tentu.
Ah,Saffa,kita sudah menyiapkan segala sesuatu tentang panti asuhan kita itu
tapi kita belum menyiapkan nama untuk panti asuhan itu. Aku belum menemukan
nama yang pas.”
Ya Allah,aku benar-benar lupa akan hal itu. Aku sama sekali tidak berpikiran
tentang nama sebelumnya,dan sekarang aku sama sekali tidak memiliki ide karena
aku masih berpikir tentang studi-ku nanti di Oxford.
Ku hembuskan nafas. “Aku tidak tahu,Alice. Sama sekali tidak memiliki ide saat
ini,apa kau memiliki ide,Belle ?”
“Aku juga. Ku pikir kita memang harus berpikir dirumah atau dimana—tidak
disini. Ya Tuhan,Saffa,Alice—aku harus segera pulang,aku lupa Morina akan
datang dan kembali menginap dan orang tuaku akan datang. Tak apa-kan jika aku
pulang ?”
Aku tersenyum,aku sudah mengetahui hal ini dari Justin. Pria itu bilang bahwa
kedua orang tuanya akan datang dan juga akan membicarakan tentang Justin
tentunya. Justin juga berkata bahwa orang tuanya suah menyetujui apapun
keputusan yang Justin ambil asalkan bisa membuat Justin bahagia. Aku
benar-benar tidak menyangka,ku pikir orang tua Justin akan menolak hal itu.
“Saffa,apa kau masih ingin berada disini ?” Alice bertanya padaku,sontak aku
melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tangan kiriku dan waktu sudah
menunjukkan pukul lima sore. Ah,kebetulan sekali aku sedang menstruasi sehingga
aku tidak khawatir aku tidak shalat ashar. Tapi aku harus cepat pulang agar
Ummi dan Abi tidak khawatir padaku,aku tidak terbiasa keluar pada malam hari.
Aku memandang Alice. “Ku pikir aku juga pulang,bagaimana denganmu,Al ?”
“Ah,aku juga pulang. Ya sudah,ayo..”
Perempuan-perempuan
yang keji untuk laki-laki yang keji.dan laki-laki yang keji untuk
perempuan-perempuan yang keji pula,sedangkan perempuan-perempuan yang baik
untuk laki-laki yang baik,dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan
yang baik pula. —Q.S
An-Nur(24):26
****
Aku terbangun dari tidur nyenyakku ketika mendengar suara Adzan yang Abi
kumandangkan di Mushola sebelah rumahku.
Mushola kecil yang masih berada didalam kawasan rumahku. Mushola yang sengaja
Abi buat karena disini kami sulit menemukan Mesjid ataupun Mushola,sehingga Abi
memutuskan untuk membangun sebuah Mushola yang mampu menampung sekitar tiga
puluh orang lebih.
Alhamdulillah.
Terima kasih ya Allah,Engkau masih memberikanku kesempatan untuk bangun dan
kembali bernafas dipagi ini.
Aku mendengar suara ketuka pintu yang ku yakini Ummi yang mengetuk pintunya.
Kuambil sebuah kerudung dan aku pakai. Aku tersenyum lantas
berdiri,melangkahkan kakiku dan membuka pintu. “Selamat pagi,Saffa.”
Astagfirullah.. Untuk apa Justin ada dirumahku dipagi buta ini ?
Aku benar-benar tidak tahu harus melakukan apa sekarang,aku tidak menggunakan
cadar dihadapan pria ini. Rasanya sungguh malu ketika menyadari Justin
tersenyum padaku,ia memandangku takjub seakan-akan aku adalah barang mahal yang
baru saja ia temukan.
Ya Allah,ku mohon tenangkanlah aku. Aku tidak ingin terlihat shock sekarang.
“Selamat pagi,Justin.” aku kembali menunduk ketika aku sadar Justin terus
menatapku dengan lamat. Ku pikir ini benar-benar memalukan,aku tidak terbiasa
dengan hal ini. “Kau tidak shalat subuh,Saffa ?”
Aku menegang,aku tidak terbiasa bersama dengan seorang pria kecuali Abi ataupun
Ahmad. Dan Justin ? Mengapa pria ini sudah berada dirumahku sekarang ? Aku
benar-benar tidak mengerti sama sekali. Ia terlalu sulit ku tebak dan..sulit ku
raih. Astagfirullah,Saffa,apa yang baru saja kau pikirkan ? Kenapa kau
tiba-tiba konyol seperti ini ?
Aku menghembuskan nafas untuk menutupi rasa gugup sekaligus terkejutku. “Aku
sedang berhalangan,Justin. Well,ku pikir aku harus segera mandi sekarang.”
Justin tersenyum. “Oke,kalau begitu aku ke bawah dulu untuk menemui Ahmad dan
Mr.Cromwell.”
Setelah itu Justin pergi dari hadapanku setelah mengucapkan Assalamu’alaikum.
Dia memang sudah membiasakannya sejak belajar bersama Abi,ia bilang ia begitu
menyukai ketika ia mengucapkan salam itu. Dan tentunya aku tidak
mempermasalahkan hal itu.
Sejujurnya,aku benar-benar malu ketika aku bertemu dengan Justin tanpa menggunakan
cadar. Sebenarnya dalam Islam memakai cadar adalah sunnah. Ummi menganjurkan
agar aku tidak menggunakan cadarku ketika berada dinegara ini,ibuku bilang
banyak kaum lain menganggap seseorang yang memakai cadar sepertiku adalah
seorang teroris. Tapi aku tidak perduli,aku tetap memakainya sejak aku lulus
dari Senior High School dulu. Dan sekarang,perasaanku benar-benar gugup ketika
menyadari bahwa Justin sudah mengetahui bagaimana rupa wajahku.
****
Ini sudah pukul sepuluh pagi dan Abi beserta Justin belum keluar dari
Mushola,entah apa yang mereka lakukan disana—mungkin mengobrol atau belajar
seperti biasa. Ahmad sudah pergi ke sekolah sejak pukul delapan pagi,adikku
memanglah pria yang tepat waktu. Dan sekarang,aku hanya diam memandang tv yang
menyala bersama Ummi disampingku.
Acara yang Ummi tonton hanyalah acara talkshow seperti biasa,atau paling tidak
ia menonton berita yang sering juga aku tonton. Ku pikir hari ini Abi akan
pergi ke kantor,tapi ternyata tidak karena ia terus bersama Justin. Aku tidak
tahu alasan Justin datang pagi-pagi dan itu mengejutkanku,ditambah Morina yang
tidak ikut. Rasanya aku merindukan gadis kecil itu,ia begitu menggemaskan.
Aku mendengar suara dehaman Ummi,sehingga aku langsung menoleh padanya dan
tersenyum ketika pandangan kami bertemu. “Ada apa,Ummi ?”
Ia tersenyum padaku dan menunjukkan tatapan menggodanya. Entah apa sebabnya
Ummi mendadak menunjukkan sikap yang lama tidak ia tunjukkan padaku setelah aku
pergi menuntut ilmu diHarvard.
“Bukankah Justin adalah pria yang menarik,anakku ?” ia kembali memasang tampang
menggoda padaku. Ya Allah,Ummi benar-benar aneh sekarang. “Ku pikir begitu.”
Aku menjawab singkat,entah aku tidak begitu menyukai pembicaraan mengenai seorang
pria. Aku lebih tertarik untuk membicarakan tentang masalah umum atau
masalah-masalah yang sering terjadi belakangan ini,tapi entah mengapa aku tidak
begitu tertarik untuk membicarakan seorang pria. Terkadang,Belle selalu
memaksaku untuk mencari seorang pria,tapi aku tidak melakukannya karena ku
pikir ini belum waktunya. Aku masih 21 tahun.
Ummi tiba-tiba menggenggam tanganku,aku kembali menatapnya. “Tapi Ummi pikir
Justin adalah pria yang sangat menarik,pasti banyak gadis diluar sana menginginkannya.
Ia terlihat berbeda dari teman priamu sebelumnya.”
Aku tertegun. Apakah Ummi sepeka itu ? Apa Ummo diam-diam memerhatikan siapapun
yang aku bawa kedalam rumah ? Termasuk seorang pria yang notabene hanyalah
seorang teman ? Ku pikir ini benar-benar aneh.
“Mungkin ya,tapi aku tidak tahu pasti bagaimana.” Aku tersenyum padanya. Tapi
kemudian aku kembali ingat beberapa minggu yang lalu,maksudku seminggu atau
lebih yang lalu,ketika Alice mencium pipinya Justin begitu merasa terkejut dan
aku benar-benar aneh. Itu adalah hal biasa untuk masyarakat dinegara
ini,terlebih mereka saling mengenal dan itu wajar untuk mereka—tidak untukku.
Justin seharusnya terbiasa akan hal itu,tapi kemarin ia benar-benar terkejut
sehingga aku pun meraas aneh. Ku pikir ia adalah pria yang menarik dan wajar
jika ia dikerubuni gadis-gadis yang –oh—pastinya sangat menarik baginya. Hanya
saja ia terlihat aneh.
Ku dengar Ummi mendesah. “Mungkin ya,tapi Ummi menyukai pria itu. Ia memiliki
kepribadian menarik dan sopan santun yang tinggi,kau tidak tertarik
padanya,Saffa ?”
Ya Allah,aku benci pertanyaan seperti ini. “Tidak,aku tidak tertarik padanya.
Kenapa Ummi tiba-tiba membahas masalah seperti ini ? Tumben sekali.”
“Usiamu sudah dua puluh satu tahun,Saffa. Ummi hanya ingin kau segera memiliki
pasangan dan selama ini Ummi selalu menyeleksi pria-pria yang dekat
denganmu,tapi Ummi belum menemukannya.”
Ya Allah,jadi itu sebabnya ? Ummi ingin aku segera memiliki pasangan. Aku tidak
pernah memikirkan hal itu tapi berbanding terbalik dengan Ummi yang
memikirkannya. Aku peluk tubuhnya yang semakin menua,mencoba menenangkan diriku
sendiri dan aku begitu menyukai ketika aku berada dipelukan Ummi yang sangat
nyaman.
“Tenang saja,Ummi. Saffa akan mendapatkannya kelak,Allah pasti menyiapkan
seseorang untuk Saffa kelak. Entah siapapun itu,asal seorang muslim dan
bertanggung jawab insyaAllah akan Saffa dapatkan.”
“Kau harus ingat ‘Perempuan-perempuan
yang keji untuk laki-laki yang keji.dan laki-laki yang keji untuk
perempuan-perempuan yang keji pula,sedangkan perempuan-perempuan yang baik
untuk laki-laki yang baik,dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan
yang baik pula*’ Ummi harap kau akan mendapatkan pria yang
baik,Anakku.”
Aku tersenyum mendengar ucapan Ummi yang membuat hatiku terenyuh,sungguh suatu
keberuntungan untukku mempunyai seorang ibu yang sangat menyayangiku.
“Amin,semoga Allah mengabulkan apapun yang Ummi pinta.”
“Kalian sedang apa ? Kenapa Abi tidak kalian ajak,hm ?” tiba-tiba saja aku
mendengar suara Abi menggema diruang TV,sontak aku melepas pelukan kami berdua
dan memandang ke arah Abi yang berdiri disamping Justin yang tersenyum
memandangku dan juga Ummi. Aku kembali menunduk,tidak boleh memandang Justin
karena kami bukanlah muhrim. Aku tidak memakai cadar sekarang,tadi pagi aku
sudah berkata pada Ummi ketika Justin berada didepan pintu dan aku tidak
memakai cadar. Ummi bilang tidak masalah,dan tadi Ummi juga mengusulkan untukku
agar melepas cadarku. Dan aku pun menyetujui hal itu.
“Tentu membicarakan masalah putri kita,Abi. Ayo,Justin,bergabung bersama kami.”
Ummi bersahut dengan suara lembutnya yang dipenuhi ketegasan yang jelas bagi
siapapun yang mendengarnya. Kemudian aku melihat Justin beserta Abi berjalan ke
arah kami,duduk di sofa yang berlainan denganku. “Masalah apa,Ummi ? Putri kita
yang cantik ini jarang sekali memiliki masalah,Abi pikir.”
“Oh,Abi. Mungkin putri kita ini tidak bermasalah dengan kuliahnya nanti,tapi
dia bermasalah pada satu hal.”
Ku lihat Abi mengernyit. “Apa itu ?”
“Masalah pria,sudah sehaarusnya Saffa menikah. Tapi ternyata putri kita belum
menemukan pilihan yang tepat,Ummi ingin putri kita satu-satunya ini segera
menikah—setelah studinya di Oxford mungkin.” Aku bisa mendengar suara tawa Ummi
yang terkontrol,ah ibuku benar-benar ya. Aku merasa wajahku memanas
sekarang,aku jarang sekali membicarakan mengenai jodoh ataupun pasangan pada
Ummi serta Abi. Dan sekarang,Ummi membicarrakannya dihadapan Justin.
astagfirullah.pasti memalukan sekali.
“Memangnya Saffa tidak memiliki seorang kekasih,Mrs.Cromwell ?” Justin angkat
bicara,terdengar kebingungan. “Tentu kau tahu bahwa dalam Islam tidak ada kata
‘pacaran’,Justin. Ia memang tidak memiliki kekasih,ku harap suatu saat akan ada
seorang pria shaleh melamarnya.”
“Abiiiiiiii...” aku menekuk wajahku dalam mendengar ucapan Abi barusan,begitu
terdengar jelas ditelingaku. “Amin,aku harap begitu.” Justin bersuara lagi.
“Saffa,bisa kau temani Justin ke tempat Ummi Aisyah,bukan ? Abi sudah memesan
padanya untuk membuat baju muslim untuknya dan Ummi Aisyah bilang kau bisa
mengambilnya. Sekaligus peralatan shalat lainnya untuk Justin.” Ummi menyentuh
diriku,mendengar ucapannya seketika membuatku terdiam ditempat. Menemani Justin
? Hanya berdua ?
Baru saja aku akan menanyakan satu hal,Ummi langsung mengangguk seakan-akan
semuanya akan baik-baik saja,seakan-akan tidak apa-apa aku pergi bersama
Justin. Dan pada akhirnya,aku mengangguk dan bangkit diikuti Justin yang
mengekoriku. Tidak apa,Saffa! Kau harus percaya pada Justin bahwa ia tidak akan
melakukan apapun. Seharusnya tidak seperti ini,aku tidak boleh berduaan bersama
Justin sekarang.
****
“Bukankah kekasihmu ini terlihat tampan,Saffa ?” Ummi Aisyah menggodaku ketika
Justin masuk ke sebuah kamar untuk mencoba pakaian muslimnya. Sebuah baju koko
beserta sarung dan kopiyahnya. Aku tidak tahu mengapa,tapi aku merasa wajahku
memanas sekarang.
Aku tersenyum kikuk pada Ummi Aisyah yang sudah ku anggap ibuku sendiri,ia
adalah seorang wanita yang menerima pesanan untuk membuat pakaian muslim
disini. Aku sudah mengenalnya cukup lama sehingga aku percaya pada kualitas
kinerjanya yang sangat baik,bahkan pesanan yang aku inginkan benar-benar sesuai
dengan yang ku inginkan.
“Dia bukan kekasihku,Ummi. Dia hanya temanku,Ummi tentu tahu itu.”
Ia tersenyum jahil. “Tapi kalian benar-benar cocok. Kau cantik dan pria itu
tampan,pasti anak-anak kalian benar-benar luar biasa.”
Anak ? Sungguh,jarang sekali aku pikirkan. Aku hanya sesekali
memikirkannya,sekarang aku hanya mencoba fokus pada studi-ku nanti di
Oxford,aku sudah mengikuti ujiannya dan aku diterima. Hanya sedikit masalah
yang terjadi,aku belum menemukan tempat tinggal yang sesuai.
“Amin,Ummi. Tapi dia temanku,” aku sekali lagi mengelak,mencoba untuk
menghentikan godaan Ummi Aisyah yang tidak berhenti sejak kami datang. Ummi
selalu memuji Justin,dan Justin hanya tersenyum dan sesekali mengelak. “Dia
memang temanmu,Saffa,tapi tidak ada yang tahu bukan siapa jodohmu ? Siapa tahu
Justin,aku mengharapkan hal itu.”
“Ummi..” aku menghela nafas,dan kemudian aku melihat Justin keluar dengan
pakaian berwarna putih terang dan... aku harus mengakui bahwa pria ini
benar-benar tampan. Maha Suci Allah yang telah menciptakan makhluk semacam
Justin dimuka bumi ini. “Bagaimana,Saffa ? Apa—”
“Sudah bagus,Justin. Kau cocok mengenakkannya..” aku tersenyum sambil
menunduk,menyembunyikan rasa maluku yang sekarang mendadak berlebihan sekali
dihadapan Justin.
Diam-diam aku melirik Justin,ia terlihat tersenyum dan aku bisa melihat sorot
kebahagiaan dimatanya. “Jadi.. semuanya berapa,Ummi ?” aku memandang Ummi
Aisyah,sambil berusaha mengeluarkan dompetku yang berada didalam tas yang aku
pakai. “Sudah,Saffa. Tidak perlu,aku hanya menginginkan kau bersama Justin
kelak.”
****
Hampir seharian aku bersama Justin.
Setelah dari tempat Ummi Aisyah untuk mengambil pesanan Ummi untuk Justin,kami
memutuskan untuk makan siang dan mencari-cari tempat makan yang berlogo-kan
halal. Tidak sulit karena aku sudah tahu dimana tempat itu berada,disebuah blok
yang dikelilingi masakan Asia.
Seharusnya aku tidak bersama Justin,namun entah mengapa seharian ini aku
bersamanya dan aku merasa nyaman. Kami selalu memiliki topik pembicaraan dan ku
pikir pria itu adalah pendengar yang baik. Ia tidak akan memotong ucapanku
ketika aku berbicara atau ia akan menyela ucapanku dengan kata-kata yang sopan.
Ia juga membuatku merasa aman tiap kali ada seorang pria yang menatapku,aku
tidak tahu mengapa yang pasti aku merasakan hal itu.
Dan malam ini sudah pukul tujuh,tapi Justin melarangku untuk pulang. Ia
menginginkanku untuk datang kerumahnya dan berkenalan dengan kedua orang
tuanya. Aku tidak bisa menolak,maka dari itu aku menyetujui keinginannya.
Sekarang,makan malam begitu hikmat,tidak ada suara apapun. Aku,Justin,Belle dan
Orang tua Justin sibuk pada makanan masing-masing. Aku mengambil sepotong steak
daging yang sebelumnya ragu untuk ku ambil,namun Pattie—ibu Justin,ia memintaku
untuk memanggilnya mom—meyakinkanku bahwa daging itu aman dan tentunya halal
untukku. Ia sengaja meminta pelayannya untuk mencari tempat pemotongan daging
yang berlogokan halal dan seketika membuatku merasa dihargai ketika berada
didalam keluarga ini.
Aku sedikit merasa kehilangan ketika mengetahu bahwa Morina sudah terlelap
dikamar Justin.
Aku melihat Jeremy—ayah Justin,ia juga memintaku untuk memanggilnya dad ketika
kami berkenalan—sudah menghabiskan makanannya,lantas disusul oleh Justin dan
kemudian aku. Kebetulan sekali aku duduk disamping Belle yang masih sibuk
dengan makanannya,ia juga mengambil steak daging.
Dad Jeremy berdeham. “Saffa..”
Aku mendongak untuk menatapnya yang duduk dikursi paling ujung.
“Ya,Mr.Bieber—maksudku dad ?”
Aku tersenyum kikuk,menyadari bahwa aku benar-benar gugup dihadapan kedua orang
tua Justin. Belle menyikutku,terkekeh pelan menyadari bahwa aku sedang gugup
sekarang. “Kau sudah berteman lama dengan Belle ? Aku bahkan lupa padamu—oh
maafkan atas sikapku,kau harus memaklumiku karena usiaku sudah semakin lanjut.”
Dad Jeremy terkekeh diakhir ucapannya,membuat istrinya juga terkekeh pelan. Aku
hanya mengukit senyum untuk orang tua Justin yang memandangku. “Belle beruntung
memiliki teman sepertimu,semalam ia menceritakan banyak hal tentangmu.
Sungguh,aku tidak menyangka kau lulusan Harvard dan kau terlihat biasa saja,ku
pikir kau akan berbeda dari orang-orang kebanyakan yang memamerkan gelar
mereka.” Mom pattie tersenyum,membuatku kembali tersenyum. Belle,adalah sahabat
terbaikku. Partner dalam proyekku dan aku menyayanginya layaknya saudaraku.
“Aku juga beruntung memiliki teman semacam Belle,ia adalah gadis menyenangkan.”
“Tapi bisa berubah menjadi monster disaat yang bersamaan.” Justin berbicara,melirik
Belle yang sibuk dengan steaknya dan aku tidak menyangka Justin akan berkata
seperti taadi. Ku lihat Belle mengerang kesal,lantas menatap Justin dengan
tatapan matanya yang tajam. “Lebih baik mana ? Menyenangkan tapi monster atau
dingin dan tidak memiliki kekasih,tuan ?”
Justin dingin ? Mana mungkin ! Ia terasa hangat padaku,pada orang tuaku dan
orang-orang disekitarku. Sulit ku percaya.
“Aku tidak memiliki kekasih karena aku belum menemukan sosok yang baik,Belle. Tapi
aku baru saja menemukannya dan kau pasti menyukainya..”
“Siapa dia ?”
*Potongan arti Surat An-Nur (24)
ayat 26
I'm
a Moeslem,now.
****
Aku
mengerutkan kening ketika dia berkata penuh misteri. Entahlah siapa yang Justin
maksudkan,dia bilang dia sudah menemukan seorang gadis.
“Siapa dia ?” Dad Jeremy beratanya penuh rasa penasaran pada Justin,terlihat
sekali dari raut wajahnya yang menampakan rasa penasaran sekaligus kebingungan.
Sesungguhnya aku sangat tertarik untuk ikut bergabung dalam pembicaraan
ini,namun rasanya sangat tidak sopan mengingat aku baru saja bergabung bersama
keluarga ini beberapa jam yang lalu. “Dia sangat beruntung pastinya.” Ku lihat
Belle sudah selesai dengan makanannnya dan ikut bergabung dalam pembicaraan.
Aku hanya diam,sesekali tersenyum ketika pandanganku bertemu dengan orang-orang
yang berada dalam ruang makan ini.
“Tentu saja.” Justin bersuara lagi. “Tapi aku yang lebih beruntung
mendapatkannya,dia adalah gadis yang luar biasa.” Tambah pria itu dengan senyum
yang mengembang dibibir merahnya.
Ku lirik Pattie yang tersenyum. “Ku pikir aku tahu siapa gadis itu,baby.”
“Mom,jika kau tahu ku mohon diam karena aku tidak ingin Belle berteriak.”
Justin terlihat frustasi ketika mengetahui mom Pattie yang ternyata mengetahui
siapa gadis beruntung itu. Well,entah mengapa ada rasa tidak enak ketika aku
mengetahui bahwa Justin sudah menemukan gadisnya. Rasanya seperti sesak dan aku
sulit untuk bernafas,aku tidak mengerti apa yang terjadi pada diriku sekarang.
Apakah ini yang dinamakan cemburu ? Aku sama sekali tidak tahu rasanya seperti
apa.
Kemudian topik pembicaraan berubah menjadi aku.
****
“Terima kasih,Justin.” aku tersenyum padanya yang telah mengantarkanku sampai
gerbang depan rumahku. Aku melihatnya juga tersenyum. “Anything for ya,Saffa.
Good night.”
“Good night too.”
Dan kemudian mobil yang Justin kendarai menghilang dari penglihatanku. Ia
mengantarkanku pulang. Ku rogoh tas-ku,mengambil ponsel dan melihat pukul
berapa sekarang. Sudah pukul sembilan malam,aku mendesah. Jarang sekali aku
pulang ke rumah pukul sembilan,tapi ya sudahlah. Aku langsung tersenyum ketika
seorang satpam yang ku kenali sebagai Mr.Woody yang sudah bekerja dirumahku
selama tujuh tahun belakangan membuka gerbang dan tersenyum padaku.
“Selamat malam,Ms.Cromwell.”
“Selamat malam,Mr.Woody.” aku menyapanya balik. “Terima kasih.”
“Terima kasih kembali.”
Aku langsung berjalan ke arah pintu rumah dan membukanya perlahan,
“Assalamu’alaikum..” aku melihat Ummi dan Abi yang berada diruang tv,mereka
sedang bercengkrama sambil sesekali tertawa. Oh,benar-benar romantis. Abi
merangkul bahu Ummi dan mencium pipi ibuku itu,ah mereka membuatku cemburu.
Well,cemburu yang ku rasakan berbeda dengan yang tadi.
“Assalamu’alaikum.” Sekali lagi aku mengucapkan salam,dan sontak mereka melirik
ke arahku yang berada diambang pintu sambil tersenyum. Ku lihat Abi dan Ummi tersenyum
“Wa’alaikumsalam. Kenapa baru pulang ?” Seketika Ummi memasang tampang
bingungnya,mungkin ia juga merasa aneh karena aku jarang pulang selarut ini.
Sebenarnya ini belum terlalu larut,hanya saja kami sekeluarga tidak terbiasa.
Aku menutup pintu dan menghampiri mereka berdua,mencium tangan dan duduk
disamping Ummi. “Aku makan malam dirumah Justin,Ummi.”
“Sepertinya aku menganggu acara Ummi dan Abi,ya ?” aku menggoda mereka. Biar
saja,tadi mereka yang menggodaku jadi biarkan sekarang aku yang menggoda
mereka. Ku lihat Abi mengangguk sambil memasang tampang tidak suka yang
dibuat-buat,ah Abi-ku memang seperti ini.
Tapi Ummi hanya memasang senyumnya.
“Nanti juga kau merasakannya,Saffa. Dimana ketika kau sedang bersama suami-mu
dan anakmu ikut bergabung,tapi Ummi tidak masalah.”
Aku tersenyum,hendak bangkit namun Abi langsung menghentikanku. “Kapan kau akan
ke Oxford,hm ? Apa perlu bantuan Abi ?”
Ah,orang tuaku benar-benar perhatian. Sebenarnya aku bisa saja menerima bantuan
dari Abi yang mengizinkan pesawat jet-nya ku pakai untuk kesana,tapi itu pasti
merepotkan. Maka dari itu aku memutuskan untuk berangkat sendiri
kesana,lagipula aku juga ingin lebih mandiri. “Lusa,Abi. Saffa mengambil
penerbangan pagi. Saffa pikir tidak perlu,Saffa sudah menyiapkan apapun yang
Saffa butuhkan,lusa hanya pengecekkan.”
“Kenapa anak Abi ini sulit sekali diberi bantuan,sih ?” ku dengar Abi mendengus
kesal,tapi aku bisa melihat senyum kebahagiaan dibalik raut wajahnya yang
dibuat-buat kesal. Aku tidak bermaksud untuk menolak kebaikan Abi,aku hanya
tidak ingin membuat mereka merasa terbebani. Lagipula aku sudah berusia 21
tahun,rasanya tidak pantas seseorang yang berusia 21 tahun masih bergantung
pada orang tuanya.
Aku tersenyum pada Abi-ku yang sangat aku cinta. “Saffa ke kamar dulu,Abi.
Rasanya badan Saffa benar-benar lengket.”
“Yasudah,cepat mandi setelah itu langsung tidur.” Aku mencium Ummi lantas
mencium Abi. Aku langsung melangkahkan kakiku ke lantai dua yang terdapat
kamarku dan juga kamar Ahmad. Sebenarnya,rumahku tidak dapat dikatakan besar.
Namun karena hanya diisi oleh 4 orang dan 2 orang pembantu dan satu security
menjadikan rumahku terasa besar. Aku akan merasa sangat senang ketika kerabat
datang kerumah dan membuat suasana rumah menjadi ramai. Tapi nyatanya,aku belum
mendapat informasi apapun dari saudara-saudaraku yang akan ke New York.
Aku tidak dapat menahan diriku untuk tidak membersihkan diri. Aku langsung
masuk ke kamar mandi setelah menyimpan tas dan melepas hijabku.
****
Hari ini aku harus berangkat ke Oxford.
Aku hanya membawa sedikit pakaian karena setelah aku pikir-pikir aku tidak akan
berlama-lama disana. Sebelumnya,Ahmad memaksa ingin ikut karena ia ingin
menghabiskan waktu akhir pekannya sekaligus hari liburnya yang ia dapatkan
selama seminggu. Hanya saja Ummi melarang Ahmad karena akan merepotkanku selama
disana. Tapi sebenarnya tidak apa-apa jika Ahmad ikut,ia sudah berusia 17 tahun
dan sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Mungkin Ummi hanya takut terjadi
apa-apa pada adik kecilku itu.
Pesawat sudah lepas landas dan entah mengapa aku masih bisa mengingat bagaimana
ketika Justin tersenyum padaku tadi. Ya,dia mengantarkanku ke bandara
bersama Ummi dan Ahmad,juga Belle yang setia menjadi pengasuh sementara Morina.
Ah,gadis kecil itu sempat menangis ketika aku harus cepat check in karena takut
terlambat. Ia memanggil-manggilku dengan sebutan Mommy seperti biasa dan
menangis,sesungguhnya aku ingin menenangkannya hanya saja aku harus cepat.
Abi tidak ikut karena ada rapat yang harus ia hadiri. Tidak apa-apa,aku
mengerti walau sebenarnya aku ingin ayahku disini.
Ah,kenapa aku selalu mengingat Justin ? Bayangan wajahnya selalu terbayang
dibenakku,ini sangat menyebalkan. Aku tidak bisa untuk memejamkan mataku untuk
sebentar saja karena itu. Sangat menyiksa. Sebenarnya ada apa pada diriku ini ?
****
Justin
POV
Ia pergi untuk seminggu ini.
Tentu kalian tahu siapa yang aku maksudkan. Saffa NurJannah Cromwell. Ya,gadis
itu. Gadis manis dengan mata coklatnya yang mampu membuat hatiku tentram namun
jantungku bisa berdetak lebih cepat disaat yang bersamaan dengan rasa tentram
itu. Ia begitu menarik,sangat menarik karena ia mudah bergaul dengan siapapun.
Aku ingin menarik kata-kataku waktu itu tentang Saffa,bahwa gadis itu terlihat
aneh.
Nyatanya,ia tidak aneh. Ia adalah gadis yang cantik,terbukti ketika tidak
sengaja aku melihatnya tanpa cadar dan ya Tuhan.. begitu manis. Aku tahu ia
sangat terkejut waktu itu,sama sepertiku,tapi ternyata setelah itu ia melepas
cadarnya dan itu adalah usulan Mrs.Cromwell.
Aku tidak bisa mengungkapkan rasa tertarikku padanya. Aku menyukainya,menyukai
setiap apa yang ia lakukan. Menyukai caranya ketika bermain bersama
Morina,berbicara pada gadis kecilku bahkan menidurkannya. Tapi bukan hanya
itu,aku memang tertarik pada Saffa seutuhnya. Ia berbeda dari gadis-gadis
diluar sana. Ia memiliki sesuatu yang gadis miliki hanya saja aku tidak tahu
itu apa.
“Daddaaaaaa.. I want mommy,dad. I want her..” tiba-tiba saja lamunanku buyar
ketika mendengar suara gadis kecilku yang masuk kedalam kamar disusul oleh
Belle yang diam diambang pintu sambil melipat kedua tangannya. Ia terlihat
muak,mungkin lelah untuk membuat Morina diam sejak Saffa check in. Ah,Morina
tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ia hanya berlaku seperti itu pada Saffa
yang bukan siapa-siapa untuknya.
Aku tersenyum,menghampiri tubuh mungilnya yang sedang berjalan ke arahku. Ia
menangis,air mata terlihat mengalir di pipinya yang memerah. Tangan mungilnya
mengusap-usap matanya untuk mengentikan air matanya agar tidak terus mengalir.
“Daddaaaaaaa! I want mommy,now.”
Ia berteriak,memukulku yang menggendongnya sekarang. Oh,gadis kecilku. Aku
begitu tersiksa melihatnya seperti ini walau ia bukan anak kandungku.
Entahlah,aku pikir ia memang membutuhkan sosok seorang ibu. Ia terlihat
kesepian dan ketika Saffa datang ia terlihat berbeda. Setiap Saffa datang atau
aku membawanya kerumah Saffa,ia akan terlihat sangat senang bahkan memaksaku
untuk menahan Saffa agar tidak pergi. Tapi .. aku tidak mengerti tentang
perasaanku. Aku tertarik padanya dan itu hanya sekedar rasa ketertarikan biasa
yang memang terjadi pada seorang pria.
“Justin,aku benar-benar lelah untuk membuatnya diam. Gadismu selalu berteriak
memanggil Saffa dan ia menginginkan sahabatku itu.” Belle berjalan mendekat ke
arahku. Aku hanya diam,mencoba mendiamkan Morina yang terus menangis
dipelukanku. Gadis kecilku yang malang,kau membutuhkannya ternyata.
Belle berhenti dihadapanku. “Aku ingin berbicara serius padamu.”
“What ?” aku mengernyit. “Tapi tidak dengan Morina,biarkan ia tertidur dulu.” Ia
mengangguk,kemudian keluar dari kamar meninggalkanku bersama gadis kecilku. Ia
sesunggukkan,terlihat sangat menyedihkan. “I want mommy,dad. I want mommy..”
Aku membawanya ke ranjang lantas ia duduk ditepian ranjang dan aku
berjongkok,berhadapan dengannya. “Sabar,babygirl. Ia pergi untuk sementara,kita
bisa menghubunginya sebentar lagi,sekarang ia belum sampai.”
“DADDAAA!” Ia menjerit,membuatku menutup telingaku dengan kedua tanganku. Gadis
kecil ini memiliki suara seperti rocker,keras dan begitu lantang. Ia akan
seperti ini jika keinginannya tidak tercapai,gadis kecilku yang manja.
Ya Tuhan,jika aku bisa rasanya aku ingin berteriak hanya saja aku akan terlihat
konyol jika seperti itu. Dan jika aku berteriak dihadapan Morina yang baru
menginjak usia 3 tahun,akan membuatnya takut. Aku tidak ingin ia takut padaku.
“Baik,baik! Sekarang hapus air matamu,babygirl. Kita akan menghubungi mommy,oke,hapus
dan jangan menangis dan kau harus tersenyum.” Seketika ia diam,memandangku
dengan senyum manisnya dan segera memelukku. Akhirnya. “Sekarang,dad.
Sekarang..”
Aku mendengus. “Baik,sekarang tolong ambil ponsel dad yang berada diatas meja
sana. Cepat.” Aku menunjuk meja kecil disebelah ranjang,lantas kaki mungil
milik Morina berjalan ke arahnya. Dia bergerak dengan cepat,kembali padaku
setelah berhasil membawa ponselku.
Ku cari kontak bernamakan Saffa dan aku menemukannya,aku langsung
menghubunginya dan tersambung—ia pasti sudah sampai. Aku harus menunggunya
beberapa saat sampai akhirnya aku bisa mendengar suaranya. “Assalamu’alaikum..”
Aku tersenyum. “Wa’alaikumsalam.. Bagaimana penerbangannya,Saffa ?”
“Alhamdulillah,Justin.
Aku baru saja landing beberapa menit yang lalu,aku baru saja menaiki taksi.”
Ku dengan ia diam beberapa saat. “Bagaimana
dengan Morina ? Ku lihat tadi ia menangis,apa sekarang ia baik-baik saja ?”
Gadis yang perhatian..
“Kau tahu ? Sejak kau pergi ia terus menangis sampai saat ini,ia baru diam
ketika aku berjanji untuk menghubungimu.”
Ku dengar ia mendesah. “Dimana
gadis kecil itu sekarang,Justin ? Aku ingin berbicara padanya.”
“Tentu saja.”
“MOMMY!” Morina menjerit senang ketika aku memberikan ponselku padanya. Ia
tersenyum ketika mendengar suara Morina disana,aku sengaja membiarkan dirinya
berbicara berdua dengan Saffa. Kemudian,beberapa kali tertawa cekikikan—entah
apa yang mereka bicarakan.
“Iya,mommy. Aku kangen,mommy harus cepat pulang.” Berbicara pada Saffa,aku
selalu memperhatikannya. “Iya,Morina janji tidak akan nangis lagi,tidak akan
bikin dadda susah asal mommy pulang.”
Apa yang Saffa bicarakan bersama gadisku ?
“Baiklah,mommy cepat pulang dan jangan lupa bawa boneka teddy bear-nya ya.
Byeee..” Morina memberikan ponselnya padaku,ternyata belum Saffa matikan
sambungannya. Aku tersenyum,lantas menempelkan ponselku dengan telinga. “Kau
bicara apa pada gadisku,hm ? Ia terlihat senang.”
“Aku hanya berjanji
agar cepat pulang.”
“Lalu ada apa dengan teddy bear,hm ? Apakah ia yang memintanya padamu,Saffa ?”
“Tidak,Justin. Aku yang berjanji padanya,lagipula aku pikir ia akan menyukainya.”
“Baiklah,kalau begitu sudah ya,ku pikir aku butuh tidur sekarang.
assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam,Mr.Bieber.”
***
Apakah seperti ini rasanya ? Benar-benar bahagia ketika menyadari bahwa aku
sudah menjadi seorang muslim dihadapan orang-orang yang aku sayangi. Ada kedua
orang tuaku,Belle,gadis kecilku—Morina Kathleen Bieber—,Mr & Mrs
Cromwell,Ahmad dan juga Mr.Malik dan Mrs.Malik yang hadir sekaligus membantuku
untuk mengislamkan diri. Aku baru saja mengucapkan kalimat syahadat dan rasanya
sulit ku ungkapkan. Ini benar-benar sulit dijabarkan.. bahagia .. haru sekaligus
sedih ketika menyadari bahwa aku beserta keluargaku akan berbeda keyakinan.
Tapi.. inilah yang aku inginkan. Ini lah sesuatu yang aku tunggu setelah
sebelumnya aku merasakan ruang kosong dihatiku. Ruang kosong yang aku tidak
mengerti.
Ku lihat mom mengeluarkan air matanya,namun tersenyum padaku ketika pandangan
kami bertemu. Aku juga melirik Morina yang bersama Belle,ia terlihat bingung
dengan hal ini. Ia belum mengerti apapun,kecuali Saffa yang ia anggap sebagai
ibunya.
“Jadi sekarang kau bisa shalat dan insyaAllah diterima karena sekarang kau
seorang muslim.” Mr.Cromwell menyentuh bahuku,memgusapnya pelan seakan-akan
memberiku semangat layaknya seorang ayah yang memberi semangat pada anaknya.
Ya,hampir kurang dari sebulan ini aku benar-benar dekat dengan Mr.Cromwell.
Ayah Saffa itu selalu membantuku,memberikanku pelajaran tentang agama islam.
Maka dari itu,aku sudah menganggapnya orang tuaku sendiri.
Aku tersenyum padanya. “InsyaAllah,Mr.Cromwell. Ku pikir aku sudah hafal diluar
kepala bacaan shalatnya.”
“Itu harus.” Ia tersenyum.
“Justin.” tiba-tiba aku mendengar suara ibuku,aku langsung berbalik dan
menatapnya. “Apa kau sudah menghubungi Saffa ? Jangan katakan kau lupa
memberitahunya,ia yang sudah membantumu.”
Oh,tentu saja aku tidak akan melupakan sosok itu. Ia yang membantuku,membukakan
jalan untukku dan mana mungkin aku melupakannya begitu saja ? tidak akan
pernah. Aku memang belum mengatakan hal ini pada Saffa karena aku ingin membuat
kejutan,ku pikir itu lebih baik. Ini sudah hari keempat Saffa berada di
Oxford,dan selama itu pula aku tidak pernah putus hubungan dengannya. Setiap
malam—sebelum ia beristirahat—aku akan menyempatkan diri menghubunginya bersama
degan Morina ataupun aku sendiri,atau kami akan saling mengirim pesan atau
berhubungan lewat sosial media. Entahlah,aku begitu nyaman ketika berkomunikasi
bersamanya.
Aku tersenyum meyakinkan pada mom. “Ia memang belum mengetahui ini,mom. Ku
pikir lebih baik mengatakannya langsung ketika ia kembali.”
Setelah itu,kami banyak berbincang-bincang bersama Mr dan Mrs Malik.
Ternyata,Mr.Malik memiliki seorang putra yang setingkat denganku. Ia bilang
bernama Zayn Malik yang kebetulan sedang menempuh S2-nya di Oxford,kampus yang
sama dengan Saffa. Ia juga bilang bahwa Zayn mengenal Saffa dengan baik,mereka
telah berteman begitu lama mengingat mereka sama-sama muslim. Tapi.. aku tidak
tahu bahwa aku memiliki perasaan yang buruk mengenai Zayn. Tidak,Justin !
Lupakan ! Kau tidak berhak untuk su’udzon.
Setelah mengucapkan banyak terima kasih pada akhirnya aku pulang dari kediaman
Mr.Cromwell. Ya,Mr.Cromwell banyak membantuku sehingga aku tidak tahu harus
berbuat apa untuk membalas kebaikannya. Aku selalu berterima kasih atas apa
yang ia lakukan untukku,ia bahkan sampai harus mengingatkanku betapa
berlebihannya aku. Tapi tidak,apa yang telah ia lakukan pun memang diluar
perkiraanku.
Dan mulai saat ini,aku adalah seorang muslim. Alhamdulillahirobbil’alamin,terima
kasih Ya Allah. Engkau telah memberikan kesempatan untukku sehingga aku bisa
merasakan bagaimana menjadi seorang muslim sesungguhnya. Sehingga aku bisa
merasakan cahaya-Mu.
Comeback
and Promise
****
Saffa
POV
Hari ini aku kembali ke New York setelah hampir seminggu berada di Oxford.
Ya,aku telah selesai membereskan semuanya dan aku bisa memulai studi-ku kembali
seminggu kemudian. Sebelumnya,aku telah mengkonfirmasi pada pihak universitas
bahwa aku sudah bisa kembali ke bangku kuliah—kembali menjadi mahasiswa junior.
Tidak,sungguh aku tidak percaya aku kembali menjadi seorang mahasiswa yang
menempuh S2. Sulit diungkapkan betapa bahagianya aku saat ini.
Aku baru saja landing,mengambil koper. Abi bilang Ahmad yang akan
menjemputku,adik-ku yang satu itu tentu saja mau karena aku sudah menyiapkan
oleh-oleh untuknya. Sebuah tas punggung dengan merk yang lumayan terkenal,dan
aku sama sekali tidak melupakan gadis kecilku itu. Aku membelikan Ahmad sebuah
tas punggung dengan merk lumayan terkenal dan aku juga membelikan boneka teddy
bear pesanan gadis kecil bernama Morina itu. Selama di Oxford,kami
berkomunikasi seperti biasa—terlebih bersama Justin. Entahlah,akhir-akhir ini
kami sering berkomunikasi. Banyak yang kami bicarakan,kadang obrolan kami
berhenti ketika waktu menunjukkan waktu tengah malam. Benar-benar konyol.
Aku merogoh tas tanganku lantas mengambil ponselku,menghubungi Ahmad adalah
tujuanku sekarang. Namun ketika aku baru saja men-slide ponselku,ada sebuah
pesan dari Justin.
From
: Justin Bieber
Ahmad
tidak bisa menjemputmu. Ia bilang harus hadir dalam rapat softball
disekolahnyah ari ini. Aku yang menjemputmu.
Adik-ku memang aktif di olahraga Softball.
Ah,tentu saja. Aku tidak aneh jika ia sering membatalkan janji denganku,ia
terlalu sibuk dalam club-nya itu. Tapi tidak apa-apa,toh ia mungkin merasa
nyaman diclubnya itu. Tapi,Justin yang menjemputku ? Apakah ia tidak sedang
sibuk sekarang ?
To
: Justin Bieber
Kau
tidak bekerja ? Kalau kau sibuk aku bisa naik taksi.
Send. Sent.
From
: Justin Bieber
Aku
sudah di JFK Airport,kau tidak bisa mengelak karena aku dapat melihatmu dari
sini.
Oh,Tuhan.
To:
Justin Bieber
Okay,wait
a minute.
Aku lantas mengambil koper dan boneka milik Morina yang aku beli,sedangkan tas
yang aku beli untuk Ahmad sudah berada dalam koperku. Aku sama sekali tidak
kerepotan membawa barang-barang ini,tidak seperti orang-orang yang bergerombol
itu. Mereka membawa sedikit barang hanya saja..oh pakaiannya. Tidak,Saffa. Kau
tidak boleh menilai seseorang seperti itu.
“Saffa..” aku langsung mendengar panggilan itu dan segera menghampiri Justin
yang berpakaian rapi—sangat rapi seakan-akan ia sedang bekerja. Eh ?
Aku tersenyum padanya. “Hai.”
“Kau terlihat semakin baik,sekarang.” ia juga tersenyum. “Ayo ke mobil,gadis
kecil itu sudah merengek karena kau tidak kunjung pulang.”
Ah,Morina. Aku tersenyum dan segera melangkahkan kakiku beriringan dengan
Justin yang membantuku membawa koper. Kami diam selama berjalan ke
parkiran,entah kenapa aku tiba-tiba menajdi gugup dan tidak bisa membuka
percakapan seperti biasanya. “Mommy!”
Aku melihat kaca mobil depan Justin terbuka,memperlihatkan Morina yang
tersenyum senang ke arahku. Gadis kecil itu melambaikan tangannya yang
mungil,rambut pirangnya yang dikucir kuda ikut bergerak karena badannya
bergerak sambil tersenyum. Oh,Tuhan,kenapa gadis itu begitu menggemaskan ?
Justin membuka kan pintu penumpang depan,sehingga Morina bisa langsung keluar
dan memelukku yang masih berdiri. Ini sungguh menyenangkan. Aku langsung
berjongkok dan mensejajarkan posisiku dengan tinggi gadisku ini. “Bagaimana
keadaanmu,sweetheart ?”
“Baik. Mommy bagaimana ? aku kangen mommy.” Ia memelukku lagi,menenggelamkan
wajahnya dileherku yang terbalut hijabku. “Mommy punya teddy bear
untukmu,Morina. Ini..” aku memberikan boneka yang sedaritadi aku
pegang,menunjukkannya pada Morina sehingga anak ini memekik girang. “Thank
you,mommy. I love ya so much.”
“You didn’t loved me,babygirl ?” tiba-tiba saja Justin ada disebelahku,ikut
berjongkok sambil menatap Morina dengan gemas. Rasanya aku ingin tertawa
melihat ekspresi yang Justin buat,benar-benar konyol. Dia begitu aneh dengan
ekspresinya kali ini.
“Of course i love ya,dadda. Everybody know it.” Morina menjawab dengan
ucapannya yang begitu lancar,tidak ada ucapannya yang manja seperti anak-anak
seusianya. Dia pintar dan aku begitu senang mengetahuinya. “Ayo kita pulang.”
“Kemana ?” aku mengernyit. “Tentu ke rumahmu,Saffa. Memang kemana lagi ?
Bukankah kau ingin segera pulang ?”
Rasanya begitu memalukan,apa aku berharap akan pulang ke rumah Justin ? Oh
tentu saja tidak. Aku hanya bingung atas ucapannya dan bukankah itu wajar ?
Selama diperjalanan,aku duduk dikursi belakang bersama Morina yang tidak
kunjung diam. Ia begitu terlihat bahagia—entah mengapa—namun aku senang
mengetahuinya. Gadis kecil ini menceritakan pengalamannnya kemarin ketika
berenang bersama Belle,Morina bilang Justin tidak ikut karena bekerja.
Aku tersenyum ketika tanpa sengaja pandanganku bertemu dengan Justin,ia
mengawasiku dan Morina dari kaca yang tergantung. Ia mengemudikan mobil dengan
santai,membawaku dan Morina tetap pada keamanan yang terjaga.
“Mommy akan menginap dirumah,bukan ? Bersamaku dan Belle ? Kita bisa
berenang bersama dan dadda tidak boleh ikut.”
Aku mengacak rambut Morina pelan,ia begitu menggemaskan. “Kenapa tidak dirumah
mommy saja,hm ? Kita bisa pinjam sepeda milik Abi dan berjalan-jalan disekitar
komplek.”
Morina memandangku bingung,tapi kemudian aku melihatnya tersenyum. “Iya,aku
mau. Dadda tidak boleh ikut,hanya aku dan Mommy.”
“Memangnya kalau dadda ikut siapa yang mengantarmu kesana,babygirl ? Belle
sedang sibuk sekarang.” justin menyahut,terlihat biasa saja jika ku lihat dari
raut wajahnya. Ah,aku hampir lupa. Alice dan Belle sedang sibuk dengan panti
asuhan yang kami dirikan. Mereka bilang sudah hampir selesai,tinggal
pengesahannya. Data anak-anak yang tunawisma sudah kami dapatkan,serta
anak-anak yang kurang mampu bisa tinggal disana jika mereka menginginkan
hal itu.
“Aku bisa berjalan kerumah mommy,atau aku akan memaksa dadda.”
“Jika dadda tidak mau bagaimana ?” Justin menggoda putrinya itu,terlihat
sekali. “Kalau begitu aku akan berteriaaaaaaaaaak dan menggigit dadda.” Morina
menjawab dengan lantang,oh lihatlah raut wajahnya,ia menunjukkan senyuman
kemenangannya. Ia belajar dari mana ? Morina adalah gadis kecil yang
menakjubkan.
Ku dengar suara tawa yang berasal dari diri Justin,ia tertawa begitu lepas.
“Kalau begitu dadda ikut,sudah lama dadda tidak berenang bersamamu,babygirl.”
“Tidak! Dadda tidak boleh ikut. Belle bilang jika aku ingin berenang bersama
mommy,dadda tidak boleh ikut.”
Belle yang mengatakannya ? Wow.
“Baiklah.” Justin menghela nafas,pandangannya masih terfokus pada jalan. “Ah
ya,Saffa. Apa besok kau ada waktu luang ? Aku ingin sedikit bercerita.”
Aku berpikir sebentar,mengingat-ingat apa saja yang akan ku lakukan besok.
Alice mengajakku shopping sekaligus membicarakan panti asuhan yang kami
dirikan. Tapi itu bis saja dilakukan siang atau sore hari. “Jam berapa ? Aku
memiliki janji bersama Alice besok.”
“Kalau begitu setelah kau selesai bersama Alice bagaimana ?”
“Baiklah.”
****
Aku benar-benar tidak bisa tidur malam ini.
Selalu saja pria itu yang ada dibenakku,menghantuiku dari beberapa jam yang
lalu dan membuatku sulit untuk beristirahat. Bukankah itu sangat menjengkelkan
? Biasanya,jika aku sulit tidur aku akan membaca shalawat dan pada akhirnya aku
tertidur. Tapi kali ini ? Aku sudah membaca shalawat seperti biasa tapi sampai
detik ini aku tidak bisa menutup kedua kelopak mataku. Aku sendiri bingung
dengan apa yang terjadi padaku,apakah ini rasanya tertarik pada lawan jenis ?
Ya Allah,aku tidak mengerti sama sekali.
Ku ambil ponsel yang ku simpan dimeja samping ranjangku,berniat membuka situs
jejaring sosial favoritku. Twitter. Walaupun usiaku sudah menginjak angka
21,bukan berarti aku tidak memiliki akun pribadi didunia maya. Well,aku memang
tidak terlalu sering menggunakannya,aku terlalu sibuk untuk sekedar
mengeceknya. Terakhir aku menggunakannya adalah ketika di Oxford kemarin,itu
pun hanya sekedar berkomunikasi bersama Justin.
Jam dinding yang dipasang diatas pintu berdenting keras,menunjukkan waktu 12
malam. Tidak biasanya aku seperti ini. Sekedar iseng,aku membuat tweet dan
tanpa ku duga aku mendapat balasan dari Justin.
Justin
Bieber @justinbieber
@saffacromwell
so happy when i know you arent sleep xoxo
Aku tersenyum.
Saffana
Cromwell @saffacromwell
@justinbieber
okay,i will sleep now. Bye,justin.
Justin
Bieber @justinbieber
@saffacromwell
oh ya,itu lebih baik. Good night,saffa. See you tomorrow,beautiful.
Oh Ya Tuhan,aku tidak bisa menahan senyumku yang semakin mengembang.
Saffana
Cromwell @saffacromwell
Good
night too,Justin. See you soon J
Cinta.
Apa ini hal yang bernama cinta ? mana mungkin aku mencintai Justin yang baru ku
kenal beberapa minggu ini. Tapi.. bukankah ada istilah Love
at first sight ? Tapi
bukankah itu tandanya aku langsung tertarik pada pandangan pertama ? aku tidak
merasakannya. Aku hanya merasakan kenyamanan ketika bersama Justin dan kemudian
aku merasa tertarik padanya. Kemudian..sekarang aku merasa menyimpan rasa
padanya.
Ya Allah,jika memang dia jodohku,dekatkanlah. Tapi aku menginginkan seorang
imam yang Kau ridhoi untukku. Amin.
****
“Jadi.. bagaimana perkembangannya ?” Aku melirik Alice yang sibuk dengan
catatan kecilnya,ia sedang mendata lagi anak-anak tunawisma disekitar New York.
Sementara Belle sedang sibuk dengan ponselnya,menerima panggilan dari berbagai
macam perusahaan yang mendonasikan dana untuk pendirian panti asuhan ini.
Sementara aku ? sedang mendata keperluan apa saja yang kurang. Kami benar-benar
sibuk sekarang. Well,gedung yang kami beli itu sudah dapat dipakai setelah
direnovasi dibeberapa bagian terlebih dahulu.
“Ku pikir kita benar-benar cepat bekerja,perkembangannya benar-benar
pesat,Saffa. Benar-benar gila.” Alice terkekeh pelan,kembali memperhatikan
laptop dihadapannya. Aku merasa sangat senang mendapat kabar seperti
itu,berarti peresmiannya semakin cepat dilakukan. Tapi.. apakah cukup waktu
seminggu untuk meresmikan panti asuhan ini sementara minggu depan aku harus
kembali ke bangku kuliah. MasyaAllah...
“Ah ya—tentu bisa,Mr.Bholdy.. ya,kami akan ke tempat anda dan .. oh tentu saja
kami sangat berterima kasih atas bantuan yang anda berikan. Ya,terima kasih dan
selamat siang.”
Belle nampak kegirangan luar biasa setelah ia menyimpan ponselnya diatas
meja,ia tersenyum lebar sambil memelukku erat. “Puji Tuhan,Saffa. Ini
menakjubkan,banyak perusahaan yang mendukung kita. Aku tidak menyangka akan
sehebat ini. Aaaaa” ia berteriak senang,memelukku semakin erat sampai-sampai
dadaku sesak dibuatnya.
“Belle lepaskan..” aku memekik. “Ah—maafkan aku.”
“Kau menyakiti mommy,Belle.” Tiba-tiba aku mendengar suara anak kecil,dan
ya,ternyata Morina berdiri diambang pintu bersama Pattie—mom Pattie maksudku.
Morina tersenyum ketika mendapati aku memandangnya,ia langsung berlari ke
arahku. “Hei—bukankah sekarang seharusnya kau sedang belajar,babygirl ?”
“Dia memaksaku untuk membawanya kemari,Saffa. Dia keras kepala,sama seperti
Justin.” Mom Pattie berjalan mendekat,bersalaman dengan Alice lantas aku
menyalaminya. Ia memelukku sebentar kemudian memeluk Belle. “Ah,mommy. Aku
bahagia sekarang.”
“Well,apakah ada berita bagus,baby ?” Mom Pattie duduk disebelah
putrinya,menatapnya dengan wajah penasaran. Ku pikir-pikir,Belle tidak begitu
mirip dengan Mom Pattie. Belle lebih mirip dengan Justin jika dilihat dari
wajahnya,benar-benar manis.
“Banyak perusahaan yang mendonasikan uang untuk pendirian panti asuhan ini,mom.
Dan ku pikir peresmian panti asuhan ini akan cepat dilaksanakan.”
“Mommy,gendong aku.” Morina menatapku dengan tatapan memohonnya,terlihat
menggemaskan. Tanpa berpikir lama,aku langsung membawanya kedalam gendonganku.
Ia mendongakkan kepalanya sehingga menatapku. “Aku sayang mommy.”
Ia terlihat manis sekarang. “Aku juga menyayangimu,sweetheart. Well,kau sudah
belajar apa saja seminggu ini ?” aku berusaha tidak mendengarkan pembicaraan
Belle dan ibunya,aku hanya ingin bermain-main sebentar bersama Morina. “Aku
sudah bisa menjumlahkan angka. Cepat tes aku.”
Apakah anak berusia 3 tahun normal sudah bisa menjumlahkan angka?
“Berapa jumlah dari 1 ditambah 4 ?” aku menatapnya.
Ia tersenyum,menjulurkan tangannya dan berhitung dengan lucunya. “LIMA!
Bukankah itu benar ?” matanya nampak berbinar dan juga bersemangat,ia adalah
gadis kecil yang aktif—seperti ayahnya.
Aku langsung teringat akan coklat yang berada ditasku yang aku beli
disupermarket tadi ketika menemani Ummi membeli bahan makanan,dan tanpa ku
pikir lagi aku mengambil tas-ku dan mengambil sebatang coklat. “Ini hadiah
karena kau bisa menjawab pertanyaanku,Morina.”
Ia memekik girang,menggerakan tubuhnya yang ku gendong sehingga kunciran
rambutnya ikut bergerak. Nampak sekali ia senang. “Terima kasih,mom. I love you
so much.”
“Jadi kau tidak mencintaiku,baby ?” Alice menyela,tapi pandangannya masih
terpaku pada laptop didepannya. Ia nampak serius,dan jika dilihat..ia
benar-benar cantik. Ia juga pintar,ia menjadi pernah menjadi juara umum
diangkatanku ketika di Senior High School. Bukankah dia benar-benar wanita
idaman pria ? Cantik dan pintar,apalagi yang dibutuhkan pria-pria itu ? Dan
juga.. ia adalah tipikal wanita yang setia pada pasangan.
Aku melirik Morina yang tampak merengut kesal. “Alice,aku juga mencintaimu,tapi
aku lebih mencintai mommy.” Ia menjulurkan lidahnya pada Alice yang terkekeh
mendengar jawaban gadis kecilku. Eh,apa ? Kenapa aku baru sadar sekarang ?
Apakah aku pantas menyebut Morina sebagai gadis kecilku ? Oh Saffa,lupakan!
Tiba-tiba ponselku berdering,menandakan ada panggilan masuk. Ku ambil ponselku
dan melihat siapa yang menghubungiku,Justin. pria itu lagi. Dan ku rasakan
jantungku berdetak lebih cepat,oh tidak,apa ini ?
“Assalamu’alaikum,Saffa.”
Aku tersenyum,melirik Morina yang sedang berusaha membuka bungkusan coklatnya.
“Wa’alaikumsalam,Justin. Ada apa ?”
Aku bisa melihat Alice yang melirikku,tapi ia terlihat biasa saja. “Mom bilang Morina ketempatmu,ya ?
Semoga ia tidak menyusahkanmu dan yang lain. Anak itu sering membuat kerusuhan.”
“Tidak,Justin. Ia terlihat semakin manis sekarang,ia juga sudah bisa
berhitung,bukankah begitu,babygirl ?”
Morina langsung memandangku,ia nampak bingung. “Ya,mommy ?”
“Your daddy.” Aku berbisik,ia tersenyum padaku. “Syukurlah kalau begitu,aku takut ia membuat kerusuhan
seperti yang ia lakukan dikantorku. Ia mengacak-acak semua dokumen penting.
Well,jangan lupa nanti sore.”
“Tentu saja.” Aku menghembuskan nafas,mencoba menghilangkan rasa gugup yang
melandaku. “Kita bertemu dimana ?” aku melanjutkan.
“Biar aku yang
menjemputmu,ok ?”
“Ok”
Lantas aku mematikan sambungan telepon,kembali bermain bersama Morina dan juga
sesekali membantu Alice mengenai data-data yang ia kumpulkan dan menyusunnya.
Gadis kecilku sama sekali tidak mengganggu,hanya saja ia selalu bertanya. Ia
bertanya mengenai laptop yang Alice gunakan,menanyakan gunanya ponsel dan
segala yang ia lihat. Ia adalah gadis kecil yang ku sukai,penuh rasa semangat
dan serba ingin tahu. Aku berharap ketika ia bertumbuh semakin besar ia semakin
pintar,dan juga tetap menjadi anak yang manis.
Aku
tidak percaya bahwa aku sudah menjalani hariku selama dua tahun di
Oxford,bersama Zayn yang setia menemaniku.
Ya,hari ini aku harus kembali ke New York bersama Zayn setelah mengikuti wisuda
minggu kemarin. Sungguh tidak dapat dipercaya aku medapat gelar Cum Laude dan
itu sungguh hampir membuatku pingsan ditempat. Abi dan Ummi sungguh bangga
padaku—mereka mengatakannya. Aku juga bahagia karena perjuanganku selama dua
tahun di Universitas ini tidaklah sia-sia. Aku mendapatkan gelar tersebut dan
artinya aku harus memulai kembali hidupku yang sebenarnya.
Ketika wisuda berlangsung,yang hadir hanyalah keluargaku dan keluarga Zayn.
Justin ataupun Morina ataupun kedua sahabatku tidaklah hadir karena memiliki
urusan yang penting. Aku tidak masalah,yang terpenting mereka dapat
menyelesaikan kepentingan mereka terlebih dahulu. Lagipula sudah ada kedua
orang tuaku dan juga Ahmad yang hadir,mereka selalu tersenyum ketika aku
memandangnya.
Aku dan Zayn selama dua tahun ini memang dapat dikatakan dekat,berkali-kali
mahasiswa lain mengira bahwa aku dan Zayn berpacaran. Namun aku selalu mengelak
sementara Zayn hanya tersenyum,ia tidak berkomentar apapun. Dan satu hal yang
sempat membuatku terkejut adalah ketika teman dekat Zayn yang bernama Niall
berkata padaku bahwa Zayn menyimpan perasaan padaku. Tapi kenyataannya Zayn
tidak berkata apapun padaku—tidak seperti Justin.
Soal Justin,aku tidak begitu tahu kabarnya sekaarng. Sesekali ia
menghubungiku,menanyakan kabarku dan studiku. Ia begitu perhatian walaupun
hanya sesekali menghubungi. Tiap kali menghubungiku,Morina selalu ada. Pernah
suatu ketika ia menangis karena aku tidak kunjung kembali,ia menangis dengan
kencang sampai-sampai aku harus melakukan video call. Benar-benar gila.
Terkadang aku bingung mengapa Justin bisa-bisanya mengangkat Morina manjadi
anaknya sedangkan diusianya yang masih dapat dikatakan produktif dipenuhi
dengan kesibukan. Namun aku bersyukur karena pada kenyataannya Morina
mendapatkan Justin yang mencintainya.
“Sebentar lagi kita landing,Saffa. Kira-kira siapa yang akan menjemputmu ?”Zayn
yang duduk disampingku angkat bicara,wajahnya benar-benar aneh ketika bangun
tidur.
Ah,aku sama sekali tidak tahu siapa yang menjemputku. Abi bilang ia sedang
sibuk dikantor,Ummi pergi bersama Ahmad entah kemana. Belle dan Alice pun sibuk
di panti asuhan,entah apa yang mereka kerjakan. Benar-benar membingungkan.
Justin ? Aku sama sekali tidak ingin membuatnya kerepotan. Sungguh.
“Aku tidak tahu.” Aku mengangkat kedua bahuku. “Mungkin aku bisa menggunakan
taksi.” Aku melanjutkan,lantas membuka kembali novel yang belum selesai aku
baca. “Kau bisa bersamaku jika kau mau. Kebetulan mom menjemputku.”
Aku menoleh. “Aku tidak ingin merepotkanmu.” Aku tersenyum padanya,ia terlihat
berpikir sebentar,lantas mengangguk mengiyakan padaku. “Baik.”
****
Aku sampai dirumah pukul dua siang,perjalanan yang cukup melelahkan ditambah
dengan koper dan juga beberapa barang yang Ahmad inginkan. Anak itu memaksaku
untuk membelikan barang-barang berbau Inggris karena ia benar-benar mengagumi
negara itu. Aku tidak mengerti apa yang berada dalam otaknya itu,tapi biarkan
saja.
Ternyata semuanya belum kembali,hanya ada para pembantu. Aku baru tahu bahwa
Ummi lebih banyak mempekerjakan pembantu,ada sekitar lima orang pembantu
sekarang dan tiga orang security.
Aku langsung membersihkan diri karena badanku benar-benar lengket,sangat tidak
nyaman. Setelah membersihkan diri aku langsung berbaring diranjang milikku yang
sungguh aku rindukan. Tiba-tiba saja ku rasakan ponselku bergetar,ada sebuah
panggilan masuk. Dari Ummi.
“Assalamu’alaikum,Ummi.” Aku angkat bicara. “Wa’alaikumsalam,Saffa.
Sudah sampai ?”
Aku tersenyum sendiri. “Alhamdulillah sudah,Ummi.”
Ku dengar Ummi menghela nafasnya. “Ummi
sedang dirumah Ummi Aisyah bersama Ahmad. Tadi ibu Zayn menghubungi Ummi,mereka
mengundang kita untuk makan malam. Bersama Abi juga.”
Zayn ? Jarang sekali mereka mengundang makan malam. Biasanya hanyalah sekedar
buka puasa bersama,namun ini terdengar aneh sekali. Astagfirullah Saffa,kenapa
kau selalu bernegative thinking,sih ?
“Jam berapa,Ummi ?”
“Sekitar jam 7,kau tidak
lelah,bukan ? Sebentar lagi Ummi pulang. Assalamua’alaikum.”
Aku menghembuskan nafas. “Wa’alaikumsalam. Hati-hati,Ummi.” Aku berbisik . “Iya,Saffa.” Lantas
sambungan telepon terputus. Aku butuh istirahat,tubuhku terasa sangat pegal dan
tidak enak untuk digerakkan. Mungkin jika aku beristirahat sebentar tidak
apa-apa,lagipula makan malam dirumah Zayn masih beberapa jam lagi.
****
Aku telah menghabiskan makananku ,begitu juga dengan yang lain. Aku tidak tahu
apa yang akan para orang tua bicarakan,hanya saja mereka membawaku dalam
percakapan ini. Biarkan saja,aku hanya akan menjadi pendengar.
“Jadi.. bagaimana ?” Abi angkat bicara,ia menatap kami semua yang berada dimeja
makan dikediaman keluarga Malik. Tiba-tiba saja suasana menjadi tegang.
Entahlah,aku tidak tahu apapun. Yang jelas tiba-tiba suasana berubah menjadi
hening,aku tidak terlalu mempermasalahkan hal ini.
“Ahmad dan Haura,bisakah kalian memisahkan diri terlebih dahulu ?” Mr.Malik
berbicara,sauaranya begitu lantang tidak jauh dari suara Abi-ku. Ahmad
mengangguk,diikuti oleh Haura yang ku pikir berusia 15 tahun,mereka berjalan ke
arah taman belakang.
“Saffana..” Mr.Malik memanggilku,sontak aku menatapnya penuh kebingungan.
“Ya ?” aku tidak tahu kemana arah pembicaraan ini. “Begini. Orang tuamu dan
kami berencana menjodohkan kau dengan Zayn.”
Perjodohan ?
****
Saat ini bukan masalah perjodohan ini,bukan,sama sekali bukan.
Tapi ini menyangkut perasaanku,perasaan Zayn juga. Mengapa para orang tua tidak
sama sekali berpikir mengenai perasaanku ataupun Zayn ? Sebenarnya apa yang
menjadi dasar mereka menjodohkan kami ?
Tidak. Aku tidak mencintai Zayn,aku tidak mencintai temanku itu. Ia sudah ku
anggap sebagai kakakku,sahabatku sendiri. Tidak mungkin kami menikah tanpa
didasari adanya rasa cinta satu sama lain. Aku memang sudah mengenal Zayn sejak
lama,hanya saja aku tetap tidak bisa membuka hatiku untuk siapapun kecuali
Justin. Pria itu tetap menjadi laki-laki yang aku cintai walaupun kami sudah
hampir dua tahun tidak bertemu.
“Bagaimana,Saffa ? Aku sudah berbicara dengan putraku dan ia menyetujui
perjodohan ini.” Suara Mr.Malik kembali terdengar ditelingaku,begitu
menyakitkan telingaku. Sungguh,aku tidak berbohong dalam hal ini. Aku.. tidak
bisa.
Aku melirik Zayn yang tampak tenang malam ini,ia menggunakan kemeja berwarna
biru dan itu memang membuatnya lebih tampan. Tapi tetap saja tidak,aku tidak
mencintainya. “Keputusan ada ditanganmu,Saffa.” Abi kali ini berbicara,ia
menatapku serius.
Aku menghembuskan nafas,mencoba menenangkan diriku sendiri. Aku mencintai
Justin.
“Mengapa kalian melakukan ini ?” pertanyaan itu meluncur dengan cepat dari
bibirku,jawaban dari pertanyaan itu yang aku butuhkan sekarang.
Ku dengar ibuku mendesahh kuat. “Karena kami pikir kalian memang cocok,lagipula
umur kalian sudah cukup untuk menikah. Kami ingin segera menimang cucu.”
Mrs.Malik yang menjawab,aku menundukkan kepalaku dalam-dalam. Tidak ingin
menatap mereka semua. Aku tidak tahu apa yang harus lakukan sekarang. Menolak
perjodohan ini ? Sama saja membuat abi dan ummi malu. Tapi jika aku menerma
perjodohan ini ? Perasaanku akan hancur dan aku akan menikah dengan pria yang
tidak aku cintai.
“Semua keputusan ada ditanganmu,Saffa.” Mr.Malik berucap,aku tidak berani untuk
meliriknya sekalipun. “Sekalipun kau menolak perjodohan ini,kami tidak apa-apa.
Bukankah begitu,Zayn ?”
Aku ingin menolak perjodohan ini namun aku sulit untuk melakukannya,tapi bukan
berarti aku menginginkan hal ini.
Jika seandainya aku tidak bertemu dengan Justin dan jatuh cinta padanya,aku
tidak akan bimbang seperti ini. Aku tidak akan berpikir lama untuk menerima
Zayn walau aku tak mencintainya.
“Ya...sungguh tidak apa-apa.” Suara Zayn. Ia begitu tenang,berbeda jauh
denganku.
Aku ingin menolaknya,tapi bagaimana nantinya ? Aku ingin memperjuangkan cintaku
pada Justin yang sudah selama dua tahun aku jaga. Aku takut ketika aku
memperjuangkan cintaku pada Justin,Ia malah menghilang dan meninggalkan aku.
Bagaimana jadinya bila itu terjadi ?
“Bagaimana,Saffa ?” Ummi menyentuh bahuku,aku memandangnya sayu. Ia pasti tahu
apa yang aku rasakan—bingung—dan ia tahu bagaimana perasaanku pada Justin. ia
tahu segalanya. Oh ibuku,bantu aku sekarang juga.
Aku menggeleng pelan pada Ummi,tidak tahu harus menjawab apa. “Ummi..”
Ibuku tersenyum teduh,seakan-akan meyakinkan padaku bahwa keputusan yang aku
ambil adalah benar. Aku mulai meyakinkan diriku sendiri bahwa aku memang
seharusnya menolak karena aku mencintai Justin. Ia pernah berkata bahwa ia akan
menungguku. Pasti. Aku percaya pada perasaanku padanya dan juga aku percaya
pada Justin.
Lantas aku memandang semua yang ada diruangan ini. “Aku bukan bermaksud untuk
memperburuk hubungan tali siaturahmi antara keluargaku atau pun keluarga Zayn.
Hanya saja aku tidak bisa memaksakan perasaanku. Aku tidak ingin menyesal pada
akhirnya. Maafkan aku Mr.Malik,Mrs.Malik dan terlebih pada Zayn,aku tidak
bisa.”
Rasanya begitu melegakan.
Aku menundukkan kepalaku lagi,tidak siap menerima respon yang akan mereka
keluarkan.
Aku mendengar Mr.Malik berdeham pelan. “Tidak apa-apa,Saffa. Kami menghargai
segala keputusanmu. Ku pikir Zayn pun tidak menjadikan ini sebuah perkara.”
“Ya,sungguh tidak apa-apa.” Zayn berbicara,suaranya terdengar serak. Apa aku
menyakitinya ?
“Baiklah. Aku sama sekali tidak menyangka keputusannya seperti ini,tapi toh ini
keputusanmu.” Mrs.Malik tersenyum padaku. Aku hanya bisa tertunduk lesu. Aku
baru saja menolak seorang Zayn Malik,seseorang yang memiliki kemampuan otak
yang cerdas,penerus perusahaan milik Mr.Malik yang tidak dapat dikatakan kecil.
Semoga apa yang telah aku ambil adalah keputusan yang paling terbaik.
****
Marry
me ?
****
Aku dan Zayn tetap berhubungan baik,walau kemarin aku baru saja menolak
perjodohan diantara kami. Aku tidak bisa memaksakan perasaanku.
Aku memandang ke arah luar dari kamarku,aku sudah melaksanakan sahalat dzuhur
dan sekaarng aku bingung harus melakukan apa. Rasanya aku ingin ke panti asuhan
yang dua tahun lalu ku usahakan bersama Belle dan Alice,namun aku bingung harus
menggunakan apa kesana. Menaiki taksi ?
Aku mengambil ponselku dan ternyata ada sebuah panggilan tidak terjawab.
Justin. ia menghubungiku beberapa kali,mungkin ketika aku sedang shalat tadi.
Oh,pria yang aku cintai menghubungiku. Bukankah itu sesuatu yang menyenangkan.
Aku harus menghubunginya kembali.
“Assalamu’alaikum,Saffa.
Akhirnya..” suara Justin yang aku rindukan. Aku merindukannya lebih
dari apapun.
“Wa’alaikumsalam,Justin. Tadi kau menghubungiku,ada apa ?”
“Aku berencana
mengajakmu ke panti asuhan bersama Morina,ia merengek. Apa kau ada dirumah ?”
“Ya,aku dirumah,sebelumnya aku juga berencana untuk kesana”
“Perlu aku jemput,Saffa ?” aku tersenyum,sepertinya lebih baik
menggunakan taksi karena itu akan merepotkan Justin.
“Tidak perlu,aku akan menggunakan taksi walau sedikit malas. Kalau begitu
sampai beretmu di panti asuhan,Assalamu’alaikum.”
“Kami menunggumu.
Wa’alaikumsalam.”
****
Ketika aku sampai dipanti asuhan,aku sama sekali tidak menyangka akan seramai
ini. Anak-anak banyak berkeliaran kesana-kemari,memperebutkan mainan mereka
tanpa menyadari kehadiranku disini. Mereka mungkin melihatku,namun tidak
mengenal siapa aku. Selama dua tahun,aku tidak pernah sekalipun mengunjungi
tempat ini lagi. sungguh miris.
Aku tetap diam disini—ditepi teras sambil menatap mereka semua tanpa ada niat
untuk menyapa. Aku ingin melihat mereka,aku tidak menyangka mereka akan
sebanyak ini ditempat ini dan aku bersyukur memiliki sahabat yang sangat luar
biasa seperti Belle dan Alice. Mereka berdua adalah dua orang wanita yang
benar-benar hebat.
Aku tetap diam,sesekali melirik ke arah dalam bangunan ini. Ada beberapa orang
yang menyapaku,menanyakan maksudku namun aku hanya berkata bahwa aku hanya
ingin mengunjungi panti asuhan ini.
“MOMMY!” aku mendengar teriakan seorang anak kecil yang aku tahu siapa,tidak
lain adalah Morina Bieber. Ia berjalan dari dalam dan segera memelukku dengan
begitu erat,gadis ini sungguh telah berubah. Ku pikir meninggalkannya selama
dua tahun tidak akan membuatnya berubah,namun perkiraanku salah besar,Morina
begitu besar sekarang.
“Hei,babygirl.” Aku menyapanya,kami berdua duduk diteras sambil memandang ke
arah anak-anak yang lain. “Bagaimana kabarmu sekarang ?”
Ku lihat ia tersenyum. “Aku baik. Sungguh aku merindukanmu,begitu juga dad.”
Justin merindukanku ? . “Bagaimana keadaan mom sekarang ? Ku pikir mom tambah
gemuk saja.” Ia tersenyum jahil,oh tidak—gadis kecilku sudah pandai menggoda
ternyata. Perubahan yang begitu cepat.
“Morina cepat ma—ya Tuhan,Saffa !!!”
Oh,ternyata Belle. Aku tersenyum padanya dan dibalas hangat oleh sahabatku itu.
Sungguh tidak ku sangka ia pun berubah,tatanan rambutnya berubah menjadi pendek
dan itu membuatnya terlihat...seksi. Oh tidak Saffa,kau ini kenapa ?
Ia memandangku takjub. “Kau terlihat lebih gemuk,Saffa.” Ya Allah,mengapa Belle
dan Morina mengatakan hal yang sama ? Aku bertambah gemuk ? Yang benar saja.
Selama beljar di Oxford aku bahkan jarang sekali makan,terkadang telat karena
dikejar tugas. Dan sekarang mereka bilang aku terlihat gemuk ? Yang benar saja.
Tapi aku tetap bersyukur.
“Ku pikir tidak,Belle. Ah,bagaimana keadaaanmu ?” aku tersenyum padanya. “Aku
baik. Eh—bagaimana dengan Justin ?”
Aku melotot,terkejut karena Belle mengetahui hal ini. Apakah Justin
mengatakannya ? Ini memalukan. Oh tidak,itu hal Justin.
Ia memandangku dengan tatapan menggoda. “Yang benar saja. You love him,he love
you. You want him and he want you too. You need him and he need you too. Oh,so
sweet. So,kapan kalian akan—?”
“Jangan menggodanya,Belle.” Tiba-tiba saja Justin sudah muncul dihadapanku
dengan kaos serta jeans pendek selutut. Dia terlihat tampan,bahkan terlihat
lebih muda. Dan sekarang usianya yang sudah menginjak angka 26 tahun,aku tidak
percaya aku melewati dua tahun dengan sangat cepat. Ini sungguh diluar
dugaanku.
Belle melirik Justin. “Ini urusan wanita,Mr.Bieber. Can you bring your child ?
I want to talk with her.”
“Hei ! Aku yang memintanya kemari,Belle ! Enak saja !”
“Apa ?!” Belle terkejut,matanya hampir keluar saat ini juga. Oh,ini berlebihan.
“Kau yang memintanya ? Oh—apa kata mom dan dad nanti. Ini berita bagus.”
Mata Justin membulat. “Tidak! Kenapa kau begitu konyol dengan usiamu yang sudah
23 tahun itu sih ?!” ia memandang Belle tidak suka,Morina mengernyit bingung
tidak mengerti. Oh gadis kecilku. Aku langsung membawanya ke pelukanku dan ia
langsung tersenyum,gadis kecilku tidak berubah.
“Belle dan dadda kenapa,mom ?” ia berbisik,merasa tersingkirkan karena Justin
dan Belle beradu mulut. Aku memandangnya dengan lembut “Mereka tidak
apa-apa,hanya sedikit bertengkar.”
“Tapi aku tidak mengerti mereka membicarakan apa. Diawal mereka membicarakan
mom lalu sekarang ? Mereka sungguh aneh. Aku tidak menyangka memiliki ayah
semacam dadda.” Ia terkikik geli,Morina semakin lucu dan menggemaskan. Giginya
sudah tersusun rapi dari sebelumnya,rambutnya dikuncir kuda dan tingginya sudha
lumayan bertambah.
“Oke,hentikan ini,Belle. Aku tidak ingin membuang waktuku,ok ? Aku ingin
membawa Saffa ke supermarket,disini aku tidak bisa bercakap-cakap bersama
Saffa.” Justin terlihat jengkel sekali,berbanding terbalik dengan Belle yang
nampak senang karena berhasil mempermalukan kakaknya. Mereka terlihat cute,pasangan
adik-kakak yang saling perhatian sebenarnya.
Justin memandangku. “Ayo,Saffa. Kita pergi ke supermarket saja. Babygirl,kau
mau ikut daddy atau disini bersama Belle ?”
Morina bangkit dari pangkuanku. “Tentu saja aku ikut dadda!” ia berseru girang.
“Jangan berbuat kekacauan,ok ? Kau boleh mengambil makanan yang kau suka
asalkan melapor pada kasir.” Justin memperingatkan putrinya itu,terlihat sangat
baik dihadapanku. Entahlah,aku menyukai sosok Justin yang bisa berhubungan baik
dengan anaknya itu.
“Katakan pada Alice aku merindukannya,Belle. Selamat siang.” Aku melangkah
beriringan dengan Justin ke mobilnya,Belle mengangguk sambil mengacungkan
jempolnya. Aku masuk dikursi penumpang belakang bersama Morina yang semakin
menggemaskan ini. Justin sudah siap dikursi kemudinya. “Aku sudah seperti
seorang supir sekarang.”
Morina yang mendengar ucapan ayahnya terkikik pelan,ia menutup mulutnya
menggunakan tangan mungilnya. Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Justin.
Mobil mulai berjalan,aku melirik ke arah gedung dan ternyata Belle sudah
kembali masuk.
****
“Jadi ?” aku berdeham pelan,menetralisir rasa gugup yang menyerangku sekarang.
Diruangan Justin ini hanya ada aku dan Justin,ia tengah duduk dimeja kerjanya
dan aku duduk di sofa,ia terlihat memikirkan sesuatu. Wajahnya benar-benar
serius,benar-benar tampan. Ya Allah,maafkan aku yang tidak bisa menjaga
pandanganku akhir-akhir ini. Sebenarnya,berada satu ruangan hanya bersama
Justin adalah sebuah kesalahan besar,namun aku berusaha untuk berpikir positif.
Aku tahu ini adalah sebuah dosa yang seharusnya aku hindari.
Setelah beberapa menit diam,ia menatapku lewat bola mata hazelnya. “Ayo kita ke
balkon.” Ia bangkit,berjalan ke arah pintu kaca transparan disampingnya yang
dapat menghubungkan langsung ke balkon gedung supermarket ini. Ku
pikir,supermarket ini benar-benar besar. Terdiri dari tiga lantai dan
menyediakan berbagai macam keperluan. Dan ruang kerja Justin berada dilantai tiga
dan tersedia balkon yang menghadap langsung ke keramaian kota New York.
Aku mengikutinya dan pada akhirnya aku menyangga tanganku dipagar
balkon,menatap jalanan New York yang tak pernah mati. Dari sini,aku juga bisa
melihat panti asuhan yang baru saja ku kunjungi,terlihat luar biasa luas. Aku
jadi merasa bersalah pada Alice dan Belle,membiarkan mereka berdua mengurus
semuanya walaupun sekarang mereka membayar banyak orang untuk mengasuh
anak-anak di panti.
“Saffa.” Justin berada disampingku,sama-sama menatap ke arah jalan. Banyak
mobil yang berlalu-lalang,benar-benar ramai. Aku menengok,memperhatikannya dari
samping. “Ya,Justin ?”
Ia ikut menatapku. “Sampai saat ini aku masih menunggumu. Bagaimana perasaanmu
sekarang ?”
Aku diam.
“Aku tidak mengerti.” Aku tetap memandangnya walau tahu ini salah. Ia menghela
nafas,perlahan. “Sampai detik ini aku masih menunggumu,masih mencintaimu tanpa
sedikitpun berkurang rasaku padamu.”
Ia
masih mencintaiku.
Cintaku tidak bertepuk sebelah tangan,ia masih menungguku. “Apakah kau masih
merasakan perasaan yang sama padaku seperti dua tahun yang lalu ?”
Aku tersenyum. “Y—ya. Aku masih mencintaimu. Sampai detik ini.”
Senyum tiba-tiba mengembang diwajahnya yang tampan. “Menikahlah denganku,Saffa.
Aku ingin kau menjadi yang terakhir untukku.”
Aku memandangnya tidak percaya. Rasanya kejadian dua tahun silam dirumah Justin
kembali terulang,ia melamarku lagi. “Demi Allah,aku ingin menjadikanmu wanitaku
yang terakhir. Istriku.”
Tanpa berpikir lebih panjang,aku mengangguk dengan senyuman dibibirku. Aku tahu
Justin memanglah untukku,aku untuknya. Aku mencintainya dan ia mencintaiku.
Untuk apa jarak ada ? dan ternyata dengan adanya jarak antara aku dan Justin
membuktikan bahwa cintaku padanya memang begitu kuat,begitu besar. Aku
menginginkan Justin,demi Allah.
“Ya Allah,Saffa. Alhamdulillah.” Ia mengusap wajahnya dari atas dengan kedua
telapak tangannya. Berkali-kali berucap syukur dan aku tahu Justin sekarang
telah menjadi seorang pria muslim. Ia adalah orang hebat,dan aku yakin ia juga
menjadi seorang muslim yang hebat.
****
Aku tidak menyangka akan menikah secepat ini,dalam dua minggu ke
depan.
Justin langsung mendatangi rumah dan berbicara dengan abi dan ummi mengenai
pernikahanku. Ummi ternyata sudah menduga hal ini sebelumnya,beliau tahu dengan
jelas apa yang aku rasakan. Sementara abi sangat setuju karena selama dua tahun
ini ternyata tanpa sepengetahuanku ia memiliki bisnis dengan Justin sehingga
hubungan kekerabatan mereka semakin dekat. Abi sudah mengenal Justin dengan
baik sehingga beliau mengizinkan Justin menikahiku.
Semua persiapan telah dilakukan. Undangan sudah mulai disebar dan berbagai
persiapan lainnya sudah Justin persiapkan. Mom Pattie dan dad Jeremy terlihat
sangat bahagia ketika Justin membicarakan masalah pernikahan kami.
Dan soal Alice,aku sudah berbicara dengannya. Ia bilang tidak apa-apa,toh ia
sudah mendapatkan seseorang sekarang,jadi aku tidak perlu khawatir lagi. Ia
sudah move on,itu katanya. Dan akhirnya,kekhawatiranku kepada sahabatku
menghilang dengan sendirinya.
Ada sebuah hal yang membuatku senang.
Selama hampir kurang dari dua minggu ini aku sudah dapat diterima dipanti
asuhanku dan ternyata anak-anak disana benar-benar menggemaskan. Mereka selalu
bergembira walaupun terkadang bertengkar satu sama lainnya. Aku juga sudah
dikenalkan ke beberapa pengasuh dipanti,ada Jane yang dulunya sebagai pembantu
rumah tangga,Monic yang menginginkan membantu kami disini dan beberapa lainnya
lagi.
Soal Zayn,ia sungguh terkejut ketika aku mengatakan bahwa aku akan menikah. Aku
membeberkan semuanya,alasan mengapa aku menolak lamaran itu. Aku mencintai
Justin dan dia menungguku. Aku sangat bersyukur ketika Zayn pada akhirnya
menerima keputusanku. Ia turut senang atas pernikahanku yang akan dilaksanakan
besok.
Ya,besok.
Hari Kamis,aku akan menikah dengan pria yang aku cintai. Aku dambakan. Semoga
semuanya dapat berjalan lancar seperti yang aku inginkan.
Aku harus tidur cepat agar esok tidak terlambat bangun. InsyaAllah..
Bismika-Allahumma-ahyawabismika—amuut.
Amin Ya Allah Ya Robbal ‘Alamin.
Forever
****
Nervous.
Satu kata yang dapat ku ungkapkan sekarang,aku benar-benar gugup dan sekarang
rasanya aku seperti lupa siapa diriku sendiri. Telapak tanganku
berkeringat,gemetar dan sungguh aku tidak bisa mengontrol perasaanku sendiri.
Akad nikah dilaksanakan disebuah mesjid ditengah kota New York yang didominasi
oleh gereja. Tapi aku bersyukur ada sebuah mesjid disini yang masih dapat
digunakan. Itu adalah kabar baik. Aku tidak bisa terus menampakkan
ekspresi tenangku sekarang. Inilah detik-detik dimana aku akan melepas masa
lajangku tanpa sedikitpun mengenal arti berpacaran.
Dalam acara ini,yang menjadi pembawa acara adalah Maulana,rekan satu senior
high school yang kebetulan kenal dekat dengan keluargaku. Ia membawakan acara
dengan bahasa inggris namun juga membawa sedikit bahasa arab.
Disana—dibagian para pria—aku bisa melihat rekan-rekan abi serta rekan-rekan
Justin yang kebetulan seorang muslim. Banyak sekali dan aku sungguh tidak
menyangka. Aku melihat Justin dengan tampannya menggunakan setelan jas berada
disamping abi dan wali-nya. Pandangan kami bertemu,buru-buru aku menundukkan
kepalaku saking gugupnya.
Sambutan-sambutanpun disampaikan oleh orang-orang penting yang hadir. Keluarga
besarku hanya sebagian yang hadir,itu pun belum bertemu denganku karena semalam
mereka baru saja sampai dan pagi aku harus cepat segera berhias. Sungguh aku
menyesal.
Aku hanya bisa diam,sekarang waktunya.
Sebelum akad nikah,seseorang yang ku ketahui adalah pamanku Syaikh Abdul
Taqiyuddin yang berangkat jauh dari Turki untuk menghadiri acara sakral
ini—beliau membawakanku khutbah nikah. Khutbah itu begitu singkat,padat dan
jelas namun mampu membuat hatiku bergetar. Sungguh,aku merasa sangat tidak
mengerti akan perasaanku ini.
Setelah ini,dia adalah rekan abi—Syaikh Ahmad Ghaffur—mulai memimpin hadirin
untuk beristigfar,mensucikan hati dan jiwa. Sungguh menenangkan. Aku begiut
menyukai ketika mendengar seseorang beristigfar. Lantas membacakan syahadat.
Hatiku benar-benar merasa kacau sekarang,ingin meledak karena tidak tenang.aku
tidak berani memperhatikan mereka,aku tidak sanggup.
“Qabiltu nikahahawa tazwijaha linasfi bi mahril madzkur haalan,ala manhaji
kitabillah wa sunnati Rasulillah.” Aku tidak dapat mendengar apapun lagi selain
jeritan hatiku saking terharunya. Aku tidka dapat mendengar suara-suara gumaman
syukur dari ornag-orang didalam mesjid ini. Aku terlalu...bahagia.
Dan pada akhirnya,aku resmi menjadi seorang istri dari seorang Justin Drew
Bieber.
****
Setelah akad nikah dilaksanakan,rombongan langsung buru-buru berangkat ke
sebuah gedung yang disewa untuk melaksanakan resepsi pernikahan berlangsung.
Resepsi pernikahan dilaksanakan setelah dzuhur dan juga karena aku butuh
istirahat sebentar,begitupula Justin. Sekarang,kami tidak perlu khawatir lagi
untuk berpandangan—kami sekarang sudah muhrim dan aku tidak bisa untuk tidak
bahagia hari ini.
Well,aku dan Justin benar-benar kelelahan. Kami harus
berdiri—duduk—berdiri—duduk hampir setengah hari dan sungguh itu adalah sesuatu
yang sangat melelahkan untukku. Aku tidak terbiasa berdiri terlalu lama,kaki-ku
ini sangat menyebalkan sekali. Karena kelelahan,kami berdua memutuskan untuk
langsung ke kamar agar bisa beristirahat.
Aku sudah menyiapkan pakaian yang Justin kenakan untuk tidur. Hanya celana pendek
serta kaos oblong dan juga pakaian dalam—ia berkata begitu tadi ketika aku
bertanya apa saja yang ia butuhkan. Ngomong-ngomong,sungguh aku tidak bisa
untuk tidak menahan semburat merah dipipiku. Ini kelewatan,aku tidak pernah
menyiapkan pakaian pria sebelumnya namun kali ini adalah kewajiban untukku.
Pintu kamar mandi terbuka dan muncullah sosok suamiku hanya dengan handuk yang
menutupi tubuhnya. Ia tersenyum ketika pandangan kami bertemu. Ia berjalan
menghampiriku yang duduk di ranjang sambil menunggunya. “Terima
kasih,sweetheart.”
“Hah ?!” aku terperangah. Ya ampun,Saffa,kenapa kau bertindak konyol seperti
ini ? Ya ya ya,aku nervous. Ini sungguhan dan tidak bisa ku kontrol dengan
baik.
Ku lihat senyum geli diwajahnya. “Bukankah kali ini aku boleh memanggilmu
dengan sebutan apa saja ? Sweetheart,baby dan ah—ya,sweet lady.”
“Hentikan ini,Justin.” aku mencoba untuk menghentikan ini,sungguh aku tahu
Justin sedang menggodaku. Ia mengambil bajunya yang sudah ku siapkan dan pergi
ke bilik. Ia hanya membutuhkan waktu beberapa menit lantas duduk
disampingku,aku hendak menghindar karena rasa gugupku semakin bertambah namun
lengan kekar milik pria-ku langsung menahan tubuhku. “Well,ini baru pukul
sembilan malam. Berminat makan malam dulu,hm ?”
Aku tidak begitu lapar,namun aku tahu Justin pasti lapar. Aku menggeleng pelan,
“Tapi kalau kau lapar aku bisa menemanimu.” Aku tersenyum hangat,ia menggenggam
tanganku,sontak aku terkejut namun aku berhasil menguasai diriku. Aku belum
terbiasa. Dan.. Justin adalah pria yang bisa menyentuhku setelah Abi dan Ahmad.
“Istriku yang cantik. Ayo.” Ia bangkit dari ranjang,aku mengikutinya keluar dan
menuruni anak tangga dan aku merasa diperhatikan sekarang. Oh tidak,jangan
pandang aku seperti itu.
“Ku pikir kalian tidak akan keluar.” Dad Jeremy tersenyum jahil pada Justin,ah
aku tahu maksudnya. Ini memalukan. Ah ya,aku sedang dirumah Justin.
Aku dan Justin terus menuruni anak tangga tanpa memperdulikan mereka yang
menyeringai jahil,terlebih Belle. Sahabatku itu menyebalkan sekali,aku tidak
tahu ia sangat jahil pada kakaknya. Aku duduk disamping Justint,tepat dihadapan
Ummi yang tersenyum hangat padaku dan Justin.
Makan malam berjalan seperti biasanya,aku hanya mencicipi roti bakar saja yang
dibuatkan oleh nanny disini. Aku tidak ada niatan untuk makan,entah mengapa.
Makan malam selesai.
“Kalian tidak memiliki rencana bulan madu ?” Abi bertanya pada kami,aku tidak
tahu harus menjawab apa karena aku akan mengikuti Justin. Aku percaya padanya.
Justin diam,berpikir. “Beberapa minggu lagi mungkin,abi. Aku masih memiliki
proyek penting,jadi bulan madu kami tunda. Bukankah begitu,Saffa ?”
“Ya.” Aku mengangguk,benar-benar malu karena menjadi pusat perhatian sekarang.
“Kalian harus cepat-cepat melakukannya,aku menginginkan seorang cucu.”
“Apa itu cucu,grandma ?” Oh,Morina. Gadis kecilku itu ada ditengah-tengah
kami,aku tidak menyadarinya karena terlalu sibuk mengontrol diriku sendiri.
“Cucu adalah adik untukmu,beautiful.” Justin yang menjawab,ia tersenyum hangat
pada putrinya. Ku lihat Morina turun dari kursinya dan berjalan ke arahku,aku
tahu maksudnya dan segera membawanya ke pangkuanku. “Aku ingin tidur bersama
mommy sekarang.”
“Tidak,sayang.” Justin menjawab cepat. Oh tidak,aku..sejujurnya aku tidak tahu
bagaimana cara melakukannya. memalukan sekali pastinya. Ku dengar tawaan renyah
yang keluar dari mulut semuanya,termasuk Ahmad yang memandangku sambil memasang
wajah geli. “Lihatlah,daddy-mu tidak sabar sekali untuk membuatkan adik
untukmu.” Mom pattie berhenti tertawa,ia memandang ke arahku yang sudah memerah
karena malu.
“Sudah-sudah,sekarang biarkan pengantin baru melaksanakan tugasnya. Justin,oh
ayolah—aku tahu apa yang sebenarnya ingin kau lakukan.” Jeremy tersenyum
jahil,oh mereka adalah pria yang sama.
“Mommy.” Morina merengek dipangkuanku,ia memainkan kerudung yang ku pakai
sambil memasang wajah cemberutnya. “Besok,ok ? Kita akan tidur bersama.”
“Janji ?” ia menatapku,aku mengangguk pasti. Sekarang ia adalah buah
hatiku,walau bukan anak kandung namun aku menyayanginya.
****
“Sesungguhnya aku tidak tahu bagaimana cara melakukannya,Justin.” aku
menundukkan kepalaku dakam-dalam,sungguh aku sangat malu sekarang. Betapa
sangat malunya ketika Justin menanyakan hal itu padaku padahal dengan sangat
jelas aku sama sekali tidak tahu. Aku memang mempelajarinya di beberapa bab
dalam hadis,mengenai aturannya dan sebagainya namun ternyata sungguh sangat
malu ketika aku langsung berhadapan dengan Justin dan priaku menanyakan hal itu
secara langsung padaku aku sangat malu luar biasa.
Ia duduk dihadapanku,menyentuh daguku dan ia mengangkat wajahku sehingga aku
kembali menatapnya,langsung ke dalam matanya. “Kalau begitu kita sama. Apakah
aku sudah mengatakan ini ? Kau cantik sekali.”
Pipiku memanas. Oh tidak,sangat memalukan. Ya Allah,hentikan,ini sungguh
membuatku malu bukan main. Aku melepas kerudungku ketika hendak naik ke
ranjang,dan Justin sudah mengucapkan kalimat itu sudah hampir lima kali. “Kau
mengulangnya lagi,Justin.”
Ia terkekeh pelan. “Aku tidak bosan untuk mengatakannya,betapa beruntungnya aku
mendapatkan dirimu.”
“Aku juga.” Ku berikan sebuah senyum untuknya,ia kembali tersenyum dan mendadak
aku tidak dapat berkutik ketika wajah Justin mendekat. Ya ampun,apa yang harus
aku lakukan sekarang ?
Aku menutup kedua kelopak mataku untuk menahan keterkejutanku ketika bibir
lembab milik Justin menyentuh bibirku,menempel dan ia tidak bergerak. Tapi
kemudian,ia melumatnya perlahan tapi aku tidak tahu harus berbuat apa. Ini yang
pertama untukku dan kalau boleh dibilang rasanya..memabukkan.
Ia melepas bibirnya setelah beberapa saat. “Jadi ? Mau ‘melakukan’nya sekarang
atau nanti ?”
Aku berpikir keras. Oh—dia suamiku. Tapi membuatnya sedikit jengkel tidak
apa-apa bukan ?
“Soon.”
“Oh—baby. Don’t make—.”
“Ya,Justin. You can do that now.”
Justin kembali menciumku,sedikit gusar namun aku tetap menikmatinya. Aku memang
belum pernah melakukan hal ini,tapi lama kelamaan aku terbiasa. Justin
menyentuh tanganku,menggenggamnya erat sampai akhirnya tangannya itu meraba ke
tubuhku. Tidak,Ya ampun,Saffa,jangan seperti ini. Sungguh jangan membuat Justin
kecewa pada dirimu.
Aku tidak tahu bagaimana caranya ini semua terjadi,pada akhirnya aku hanya bisa
pasrah atas perlakuan Justin padaku. Ia membuatku berteriak—namun aku masih
dapat mengontrol suaraku—keras sehingga Justin terkekeh pelan. Aku selalu
memukulnya ketika ia berusaha untuk menertawakanku,dia tidak bisa mengerti
bahwa ini yang pertama dan sungguh menyakitkan. Justin sudah mengatakan hal ini
padaku sebelumnya bahwa pasti akan terasa sakit,ia sungguh berhati-hati
melakukannya dan ia tidak melukaiku sedikitpun.
Pada akhirnya kami sama-sama tumbang. Aku mengatur nafasku yang memburu dan
Justin juga,aku tidak menyangka bahawa begini rasanya. Setelah ku
pikir-pikir,pantas saja masyarakat disini bisa melakukannya dengan
bebas—sepertinya itu adalah budaya—tanpa khawatir pada akibatnya. Rasanya
sungguh..tidak dapat dijabarkan.
Ku rasakan lengan Justin memelukku dari samping,lantas aku menatapnya dan ia
tersenyum padaku. Begitu manis. Keringat masih mengucur didahinya,ia masih
berusaha untuk mengatur nafasnya. Ku seka keringatnya menggunakan jari-jari
tanganku. “Kau kelelahan sekali sepertinya.”
Ia menyentuh wajahku dan menciumku lagi. “Memang. Aku mencintaimu,Saffa.”
Aku pun tersenyum. “Aku juga mencintaimu,Justin.”
****
3
Years Laters
****
Author
POV
“Hei,Dave! Jangan seperti itu,kau tidak boleh membunuh mereka,baby.” Seorang
wanita dengan paras yang manis menghentikan tangan anaknya yang hendak
mengambil seekor semut dan mematikannya,namun ia lebih cepat dari anaknya itu.
Saffana,kalian tentu tahu siapa wanita itu. Saffana NurJannah Bieber,seorang
wanita yang dipersunting oleh pria bernama Justin Drew Bieber tiga tahun yang
lalu.
Anak kecil yang dipanggilnya Dave itu mengernyit bingung. “Memangnya kenapa,Mom
? Aku suka.”
Saffa mendengus sebal melihat kelakuan anaknya yang satu ini. “Kau tidak boleh
melakukannya lagi,ok ? Allah akan marah jika kau melakukannya.”
“Memangnya kenapa ?”
Dave mengangguk mengerti,ia bangkit dan menghampiri ayahnya yang telah duduk
diranjangnya. Ia menyalami ayahnya,sama persis seperti apa yang ibunya lakukan
sebelumnya. “Dimana Morina,sayang ?”
Saffa berpikir sebentar. “Dia sedang mandi.” Ia berpikir sebentar. “Aku akan
menyiapkan air untukmu berendam.”
“Tidak—tidak perlu,aku hanya butuh berdiam dibawah shower sekarang.”
Wanita itu mengangguk pada suaminya. “Baiklah,aku akan mengurus Morina dulu.
Ayo,Davis,kau tidak boleh melakukan hal itu lagi,ok ?”
“Ok,mom.” Ia mengacungkan kedua jempolnya kepada ibunya itu sementara Justin
hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan anaknya. Saffa keluar dari kamar
bersama Davis yang berada digendongannya.
Ya,sekarang kehidupan mereka sudah jauh berubah. Justin menjadi seorang
pebisnis sukses yang dikelilingi oleh keluarga kecilnya dan juga keluarga
besarnya. Hidupnya dapat dikatakan sempurna—ia memiliki seorang anak perempuan
yang cantik dan seorang anak lelaki yang benar-benar tampan. Davis Ahmad
Bieber—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun kurang. Dia adalah anak
lelaki yang benar-benar Justin cintai,namun begitu ia tidak melupakan Morina
begitu saja. Gadis kecil itu tetap menjadi pusat perhatiannya—sama posisinya
dengan Davis.
Davis memiliki wajah yang hampir menyerupai Justin semasa kecil—itu yang
dikatakan Pattie. Ia memiliki bola matanya kecoklatan milik Saffa dan rambut
pirang yang entah dari mana ia dapatkan. Saffa tidak menyangka bahwa anak
pertamanya ini benar-benar tampan,dan ia sangat mensyukuri hal tersebut.
Saffa bukanlah seorang ibu rumah tangga biasa. Sekarang,ia adalah bagian dari
Bieber Group yang Justin kelola—itu adalah perusahaan ayahnya—dan juga sebagai
manager di B! Supermarket. Kesehariannya yang sibuk tidak membuatnya lupa pada
tugas sebenarnya,ia tetap menjadi ibu yang baik bagi kedua anaknya. Justin
membatasi jam kerja istrinya tersebut. Jika pada umumnya karyawan akan pulang
ketika pukul 4 atau 5,ia akan pulang pukul dua atau tiga agar ia tetap bisa
menjaga Morina maupun Davis.
Usia Morina sudah menginjak usai delapan tahun dan ia sudah masuk ke sebuah
sekolah dasar. Ia adalah murid yang pintar yang sangat dibanggakan oleh kedua
orang tuanya. Lengkaplah sudah kehidupan Justin dan Saffa yang dipenuhi oleh
anak-anak seperti Morina dan Davis.
“Mommy ! Aku ingin menonton barbie,Davis selalu menggigit remote-nya dan
lihatlah—remotenya tidak bisa berfungsi.” Morina merengek pada ibunya
itu,mereka berempat tengah berkumpul ditengah ruang keluarga. Waktu sudah pukul
delapan malam dan ini lah waktu dimana mereka semua berkumpul diruang keluarga.
Davis memanglah anak lelaki yang jahil,ia tertawa mendengar rengekan kakaknya
itu. “Sudah,lagipula kau sudah menontonnya berulang kali,bukan ? Lebih baik
kita membeli kasetnya lagi dan bairkan daddy yang membetulkan remote ini,ok ?”
“Hei,kenapa aku ?” Justin menatap Saffa tidak suka,ia tidak ikut andil namun
tiba-tiba saja istrinya itu ikut membawanya.
Morina tersenyum girang. “Benarkah itu ?”
Mau tidak mau Justin mengangguk. “Asal kau shalat isya dan segera tidur.
Davis,kau juga harus tidur,nak.”
Davis memandang ayahnya itu tidak suka. Walaupun usianya baru menginjak dua
tahun kurang,ia melangkah lebih maju dibandingkan anak-anak seusianya. Ia bisa
berbicara dengan lancar dan Saffa sangat bersyukur akan hal itu. “Mommy.”
Saffa tahu maksudnya. Segera ia membawa Davis ke dalam pangkuannya dan menyusui
anaknya itu. Davis masih terlalu kecil untuk berhenti,dan Justin menganjurkan
agar berhenti ketika usianya sudah pas dua tahun. Morina segera naik ke
kamarnya,Justin tersenyum ketika menyadari bahwa hidupnya kali ini benar-benar
indah. Saffa—seorang gadis yang menjadi pendamping hidupnya yang memberikannya
seorang anak laki-laki yang sangat tampan dan juga pintar,Morina yang semakin
tumbuh besar dan juga semakin cantik.
Justin tahu,ia mengalami sedikit masalah setiap harinya. Namun demikian,ia
sadar bahwa masalah-masalah kecil yang ia hadapi—seperti Davis yang selalu
ingin berada disampingnya padahal ia harus mengerjakan tugasnya—atau paling
tidak berdebat kecil dengan Saffa karena perbedaan pendapat. Ya,itu semua
bagian dari hidup.
Pria itu mendekatkan tubuhnya pada istrinya yang sedang menyusui putranya.
Davis sudah tertidur dalam pelukan Saffa,anak itu memang mudah sekali untuk
tertidur.
“Aku tidak menyangka akan seindah ini,sayang.” Justin memandang Saffa
lembut,tangannya menyentuh kepala Davis dan mengelusnya perlahan—membuat
anaknya itu semakin nyenyak tidur.
Saffa memandang Justin. “Ya,aku tidak menyangka akan memilikimu,memiliki Morina
dan memiliki anakku yang sangat tampan ini.” Ia terkekeh pelan.
“Dia anakku juga,Saffa. Dia tampan karena aku juga tampan,kau tahu!”
Oh tidak,Justin sudah mulai mengajak istrinya berdebat. “Aku mencintaimu.”
Justin mencium Saffa lembut,penuh perasaan dan sangat berhati-hati. Ia sangat
mencintai Saffa dan Saffa juga mencintai Justin. hidup mereka penuh cinta dan..
sungguh sempurna.
Hidup memang terkadang tidak semudah yang dibayangkan sebelumnya,didalamnya
pasti terdapat lika-liku yang harus dihadapi. Dan siapa yang bisa melewati lika
liku hidup,niscaya akan berhasil pada akhirnya. Dan akhirnya,Justin dan Saffa
telah membuktikan bagaimana mereka telah melewati waktu yang tidak dapat
dikatakan singkat untuk memperjuangkan cinta mereka. Memang tidak ada masalah
yang ‘besar’,namun setiap masalah yang ada pastilah membutuhkan pemikiran
sehingga tidak mudah untuk dihadapi.
“Berjanjilah satu hal padaku.” Justin kembali menatap istrinya dengan lembut.
“Ya ?”
Pria itu menghela nafasnya,memejamkan matanya. “We are forever.” Justin tersenyum dan Saffa balas
tersenyum pada prianya itu,pria yang sangat ia cintai. “Ya,i promise.”